Cagar Alam

1. CA Batang Palupuh

Umum

Penunjukan Cagar Alam Batang Palupuh didasarkan kepada Gubernur Besluit No. 3 Staatblat No. 402 tanggal 14 November 1930. Penunjukan kawasan ini sebagai cagar alam dilatarbelakangi oleh keberadaan jenis Bunga Padma Raksasa (Raflesia arnoldi), yang banyak terdapat di dalam dan disekitar kawasan ini. Pemancangan batas kawasan Cagar Alam Batang Palupuh sepanjang 0,837 km telah dilaksanakan tahun 1929 oleh Pemerintah Hindia Belanda yang terdiri dari batas fungsi dengan hutan lindung sepanjang 0,221 km, batas luar yang berbatasan dengan areal penggunaan lain sepanjang 0,616 km, bahkan batas kawasan telah dilengkapi dengan pagar kawat berduri, walaupun kondisinya saat ini sudah rusak. Secara administrasi pemerintahan terletak Nagari Koto
Rantang, Kecamatan Palupuh Kabupaten Agam. Menurut wilayah pengelolaannya, kawasan ini dikelola oleh Seksi Konservasi Wilayah I Pasaman, Resort Agam.

Batas-batas kawasan ini adalah
a. Bagian Utara , Barat dan Selatan berbatasan dengan lahan masyarakat;
b. Bagian Timur berbatasan dengan Hutan Lindung Batang Palupuh;

Aksessibilitas

Untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh melalui jalan darat dengan rute kota Bukitinggi – Palupuh yang berjarak 12 km. Kawasan ini dapat ditempuh dengan jalan darat dari Bukittinggi ke Koto Rantang sekitar 30 menit perjalanan dengan angkutan umum, kemudian diteruskan dengan
melewati jalan setapak sekitar 500 m dapat dilalui kendaraan roda 2 maupun kendaraan roda 4, di dalam kawasan terdapat jalan setapak yang menghubungkan kelompok bunga Rafflesia arnoldi (lihat peta).

Potensi

Secara umum daerah Batang Palupuh dan sekitarnya termasuk daerah plateau, yang ditutupi oleh tuf vulkanis, geomorfologi bergelombang dengan terdapatnya bukit dan jalur-jalur alam. Bukit dan lereng dan lereng ditutupi oleh lahan yang labil, yang menyebabkan sering terjadinya
tanah longsor, lapisan tanah bagian atas berwarna hitam dan lapisan bawah coklat sampai kuning, pH tanah berkisar antara 4,6 – 6,1.
Curah hujan tertinggi pada bulan Maret dan November. Cagar Alam Batang Palupuh terletak pada punggung bukit yang cukup miring dengan kelerangan lebih dari 45°. Dalam kawasan ini hanya terdapat anak sungai yang berupa aliran mata air, sedangkan di wilayah Desa Batang Palupuh dilalui oleh sungai Ulu Air dan sungai Mudik Tarok yang bermuara pada sungai Batang Palupuh. Menurut Kartawinata (1976) cagar alam ini termasuk formasi hutan hujan tropis. Secara umum berbagai tumbuhan yang terdapat di dalam kawasan ini terdiri dari: pohon dikuasai oleh jenis-jenis dari famili Lauraceae, Myrtaceae dan Euphorbiaceae. Golongan liana didominasi oleh famili Vitaceae, epifit terdiri dari keluarga pakupakuan dari famili Aspleniaceae, dan Orchidaceae, dan beberapa parasit akar seperti Rafflesia arnoldi, Rhizantes zippeli dan Balanophora elongata.
Berdasarkan penyebaran bunga Rafflesia arnoldi kawasan cagar alam ini dibedakan atas 2 areal, yaitu areal yang terdapat Rafflesia sp dengan luas 1,3 hektar, dan areal non Rafflesia dengan luas 2,1 hektar (Syahbuddin. 1981). Pada areal yang mengandung Rafflesia terdapat jenis-jenis flora
antara lain jenis Villebrunea rubenscens, Sauraia vulcanica, Nauclea purpurascens, Clonea sigun, Commersonia batramia, Litsea velutina, liana jenis Tetrastigma sp, dan jenis endo parasit Rafflesia arnoldi. Pada areal non Rafflesia dikuasai oleh jenis Villebrunea rubescens, Litsea
vilutina, dan Nauclea purpurascens, terdapat juga jenis Toona sureni, pada tingkat sapling terdapat jenis Cofea robusta yang menyebar dari lahan masyarakat. Fauna yang terdapat di dalam kawasan ini ada yang bersifat
menetap dan ada pula yang tidak menetap, diantara jenisjenis tersebut berhubungan dengan kehidupan Rafflesia arnoldi baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung terlihat adanya serangga yang sering mengunjungi bunga Rafflesia arnoldi saat bunga tersebut mekar, serangga yang banyak mengunjungi bunga adalah anggota famili Calliphoridae, Sarcophagidae, dan Muscidae dengan jenis-jenis, seperti lalat hijau (Luciliasp), lalat biru (Protocalliphora sp), lalat becak (Sarcophaga
sp), dan lalat buah (Drosophila sp). Selain itu jenis tupai tanah (Tupaia glis) yang sering memakan kuncup bunga Rafflesia arnoldi.

Jenis-jenis lain yang ditemukan tanda keberadaannya dalam kawasan adalah babi hutan (Sus scrofa), tapir (Tapirus indicus), kijang (Muntiacus muncak), Siamang (Hyllobates syndactylus), simpai (Presbytis cristata), tupai dahan (Sciurus notatus), Kera (Maccaca fascicularis), tikus buluh (Chiropodimys sp), tikus tanah (Rhizomys sumatraensis), Bengkarung (Mubaya multifasciata), dan musang (Paradoxorus hermaphroditus).

2. CA Batang Pangean II

Umum

Kawasan ini telah ditetapkan menjadi kawasan hutan tetap melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 222/Kpts-II/2000 tanggal 2 Agustus 2000 tentang Penetapan Kelompok Hutan Batang Pangean II seluas 33.580,10 (tiga puluh ribu lima ratus delapan puluh,
sepuluh perseratus) hektar. Secara geografis kawasan ini terletak antara 101* 22’ 19.1999” BT – 101* 1’ 44.3999” BT dan 0* 46’ 3.5579” LS – 1* 1’ 38.3159” LS.

Hasil pengamatan dan analisis lebih lanjut terhadap Keputusan Menteri Kehutan No. 304/Menhut-II/2011, mengindikasikan kawasan ini terletak pada 3 daerah administrasi sebagai berikut:

  1. Kabupaten Sijunjung (76,52%) seluas 25.695,90 ha;
  2. Kabupaten Solok (17,94%) seluas 6.025,91 ha;
  3. Kabupaten Dharmasraya (5,53%) seluas 1.858,29 ha.

Panjang batas kawasan menurut hasil analisa data yang sama adalah sepanjang 378,91 km. Kawasan terletak di sebelah kanan jalan Lintas Sumatera rute Padang – Jambi. Menurut wilayah pengelolaannya, kawasan ini dikelola oleh Seksi Konservasi Wilayah III Sijunjung yang berkedudukan di Muaro Sijunjung (+ 60 km dari kawasan).

Aksessibilitas

Untuk mencapai kawasan ditempuh dengan berjalan kaki, salah satu lokasi yang pernah diidentifikasi, kawasan berjarak 3,7 km dari Jorong Liambang Nagari Langki.

Pengelolaan

Pengelolaan kawasan sebagai kawasan cagar alam dinilai belum mampu diaplikasikan dengan sempurna di kawasan ini, hal ini disebabkan kawasan yang relatif luas, daerah penyangga yang banyak dan tersebar menyebabkan sulitnya mengawasi seluruh bagian kawasan hingga kekurangan personil dalam pengelolaan kawasan. Dari hasil pelaksanaan ekspedisi kawasan tahun 2011 memberikan gambaran sepanjang track ekspesisi sebagai berikut:

Keterangan gambar : Fauna di CA Batang Pangean II – Beberapa jenis satwa yang ditemui di CA Batang Pangan, kiri: Tupai (Tupaia minor), atas: jejak Tapir (Tapirus indicus), bawah: bangkai Landak (Hystrix brachyura) I Gusman Efendi, dkk,
2011

  1. Dari jorong Liambang nagari Langki (posisi 0°53’43,3” S, 101°11’19,2” E, altitude: 254 m dpl) perjalanan mendatar dan mendaki hingga batas kawasan sepanjang 3,7 km. Kondisi jalan masih cukup baik, merupakan jalan yang telah diperkeras dan jalan setapak masyarakat. Kawasan ini merupakan kawasan budidaya, perkebunan, dan perumahan masyarakat yang telah ada sejak lama. Pada daerah ini jenis yang mendominasi adalah jenis tanaman budidaya dan tanaman domestik, seperti pisang, kelapa, bambu, tanaman semusim lainnya.
  2. Dari batas kawasan (ketinggian ± 237 m dpl) rute mendaki hingga ketinggian 1.067 m dpl, sepanjang 6,17 km. Pada daerah ini dapat diamati perubahan dominasi tegakan, pada daerah ini tanaman yang mendominasi adalah jenis Madang dan Kalek dari keluarga Myrtaceae dan dari keluarga Euphorbiaceae. Ukuran diameter pohon relatif seragam dan kecil, jarang ditemukan pohon yang berdiameter besar (60 cm keatas). Menurut informasi dari masyarakat aktifitas penebangan liar banyak terjadi walaupun akses cukup jauh, kayu hasil tebangan disarad menggunakan kerbau.
  3. Perjalanan menurun ke ketinggian 620 m dpl dengan jarak tempuh ± 4,20 km, topografi agak curam. Jenis tegakan yang mendominasi adalah jenis tanaman Myrtaceae, dan ada beberapa jenis dipterocarpaceae seperti Banio, kelembaban tinggi, berkabut, proses pembusukan cepat, tanaman bawah didominasi oleh jenis semak dan beberapa bagian telah mulai ditumbuhi lumut. Pada daerah ini masih juga ditemui bekas-bekas tebangan yang sudah lama, lebih dari 2 tahun.
  4. . Perjalanan menuju Gayu (altitude: 425 m dpl) dan menyusuri sungai sepanjang ± 1,89 km hingga persawahan masyarakat yang berbatas dengan kawasan CA Batang Pangean II. Tegakan masih didominasi jenis Myrtaceae, tipe ekosistem hutan sekunder dataran tinggi non dipterocarpaceae.
  5. Perjalanan dilanjutkan mendaki puncak bukit kecil dengan jarak ± 0.31 km dengan ketinggian 380 m dpl. Jalan ini merupakan jalan sarad guna menarik kayu keluar kawasan.
  6. Dari sini perjalanan lebih mudah, berjarak 37,8 km dari kantor Seksi Konservasi Wilayah III sijunjung sebagai titik awal dan akhir dari perjalanan kegiatan ekspedisi kawasan Cagar Alam Batang Pangean II.

Masalah

  1. Banyaknya kegiatan illegal logging di kawasan, dari hasil pelaksanaan kegiatan ekspedisi ditemukan penebangan di Gunung Salo yang berada di tengahtengah kawasan. Selain itu aktifitas lain yang cukup banyak ditemui adalah perladangan dalam kawasan;
  2. Aktifitas illegal logging dan banyaknya aktifitas masyarakat ke dalam kawasan kemungkinan berdampak terhadap menurunya populasi satwa di dalam kawasan.
  3. Batas kawasan tidak jelas menyulitkan untuk melakukan sosialisasi dan pembinaan terhadap masyarakat.

Referensi: Laporan Pelaksanaan Kegiatan Ekspedisi Kawasan Konservasi Cagar Alam Batang Pangean II Kabupaten SijunjungSeksi Konservasi Wilayah III Sijunjung, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 29 Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat Tahun Anggaran 2011; Padang; Juli 2011.

3. CA Beringin Sati

Umum Kawasan ini ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan Gubernur Besluit No.60 tanggal 16 Nopember 1921, dengan luas 0,03 Ha. Hasil pengukuran menggunakan GPS, posisi geografis kawasan terletak antara 100* 35’ 35.28 BT – 100* 35’ 34.74” BT dan 0* 27’ 16.86” LS – 0* 27’ 16.08” LS. Kawasan ini berbatasan dengan Perum Pegadaian dan rumah masyarakat, sedangkan daerah sekitarnya terdapat SLTP. Kawasan ini menurut pembagian wilayah pengelolaan KSDA merupakan wilayah kerja Seksi KSDA Wilayah II Tanah Datar dan sekitarnya, dan secara administrasi pemerintahan terletak di Kabupaten Tanah Datar tepatnya di tengah Kota Batusangkar yang merupakan ibukota kabupaten.

Potensi

Fungsi penting kawasan jika dikaji pada saat penunjukkannya, mungkin didasari oleh keberadaan pohon Beringin (Ficus sp) yang juga merupakan satu-satunya pohon yang tumbuh di kawasan ini. Pohon ini dulunya dipandang memiliki nilai magis bagi masyarakat sekitar, sati dalam bahasa Minang dapat diartikan sebagai hebat, ajaib, memiliki kekuatan supranatural. beberapa informasi yang ada menyebutkan bahwa saat ditunjuk sebagai cagar alam, pohon Beringin tersebut telah berumur 1 abad. Namun perkembangan waktu dan jaman, nilai magis tersebut tanpaknya semakin memudar di mata masyarakat. Saat ini penggunaan kawasan lebih banyak dimanfaatkan oleh pemerintah daerah setempat sebagai lokasi pemasangan spanduk, pengumuman dan himbauan karena posisi letak kawasan yang strategis di pusat kota, di beberapa kesempatan daerah sekitar kawasan dan di dalam kawasan digunakan oleh pedagang untuk menggelar dagangannya.

Kawasan ini telah dipagar dan dibangun beberapa bangku semen oleh pemerintah daerah setempat, hingga kadang sampai larut malam dapat dijumpai masyarakat di kawasan ini. Merunut posisi letaknya dulunya, daerah sekitar kawasan ini kemungkinan merupakan pusat cikal bakal kota Batusangkar, di sekeliling daerah ini terdapat beberapa bangunan dan lokasi penting jaman dulunya, seperti Rumah kediaman residen sekarang dimanfaatkan sebagai rumah dinas Bupati Tanah Datar dan Alun-alun yang dinamai Lapangan Cindua Mato.

Saat ini kawasan ini beralih fungsinya sebagai penunjuk nol kilometer kota Batusangkar. Dari segi pengelolaan kawasan, ternyata sulit untuk menerapkan mekanisme pengelolaan kawasan cagar alam layaknya seperti kawasan lainnya di kawasan ini, hal ini karena luasan dan kondisi daerah setempat, hingga saat ini walaupun kawasan ini tetap diakui sebagai kawasan cagar alam, namun upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan yang dilakukan belum maksimal.

Pada tahun 2010, pohon beringin tersebut patah dan rusak, namun pada saat dilakukan penyusunan buku ini, kondisi pohon beringin telah mulai pulih kembali.

Beberapa tahun terakhir, keberadaan Beringin ini mengundang kehadiran burung-burung dari jenis Kuntul dan Bangau untuk bersarang di atasnya. Keberadaan jenis-jenis burung tersebut menambah arti bagi pengelolaan kawasan ini,

Masalah

Keterdapatan kawasan cagar alam di tengah kota menyebabkan timbulnya permasalahan hak milik dengan masyarakat sekitarnya, pada tahun 2011 daerah cagar alam pernah diklaim oleh masyarakat sekitar. Untuk masa mendatang tentunya perlu dilakukan peninjauan ulang sajauh mana keterkaitan fungsi kawasan saat ini dengan kondisi yang ada, beberapa usulan yang layak dipertimbangkan mengenai perubahan fungsi kawasan ini adalah mengalih fungsikan status cagar alam, hingga di kawasan ini dapat dibangun berbagai sarana seperti kantor tetap dipertahankan berdampingan dengan pembangunan sarana pengelolaan promosi informasi KSDA tersebut nantinya.

Salah satu alternatif lain adalah mengkonversi status cagar alam kawasan ini menjadi cagar budaya dengan mempertimbangkan keberadaan pohon beringin sebagai ekosistem burung Kuntul dan Bangau.

4. CA Lembah Anai

Umum

Ditunjuk berdasarkan Gubernur Besluit No. 25 Stbl 756 tanggal 18 Desember 1922, kemudian berdasarkan pertimbangan guna meningkatkan pemanfaatan potensi wisata kawasan, pada tahun 1978 sebagian areal cagar alam dialihfungsikan menjadi kawasan Taman Wisata Alam Mega Mendung (lihat halaman TWA Mega Mendung) hingga luas kawasan ini menjadi 221 ha. Hingga tahun 2004 ini tata batas kawasan Cagar Alam Lembah Anai sepanjang 36 km telah selesai di tata batas dan pada tahun 1991/1992 telah dilakukan rekonstruksi ulang.

Aksessibilitas

Aksessibilitas menuju dan dari kawasan relatif sangat mudah, kawasan ini berjarak 64 km dari Kota Padang (dapat ditempuh 1,5 jam dengan menggunakan kendaraan roda empat). Sedangkan dari Kota Bukittinggi berjarak 24 km melewati Kota Padang Panjang. Selain baiknya tingkat aksessibilitas kawasan, kendaraan umum yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai kawasan relatif banyak dan tersedia hampir setiap saat. Selain itu di dalam kawasan ini juga tersedia jalan.

patroli sepanjang 14 km yang selain dimanfaatkan bagi kepentingan pengamanan kawasan juga dapat dimanfaatkan oleh peneliti yang ingin masuk ke dalam kawasan.

Ekosistem dan Biotik

Di kawasan ini terdapat Air Terjun Lembah Anai yang keberadaannya telah menjadi landmark Sumatera Barat. Dengan perkembangan waktu dan kemajuan, nilai perlindungan kawasan terhadap ruas genting jalan raya Padang – Bukittinggi yang merupakan ruas jalan luar kota tersibuk saat ini, bergeser menjadi alasan utama untuk melindungi kawasan.

Topografi kawasan agak curam sampai dengan curam dengan kemiringan lebih dari 450, hampir tidak ditemui daerah lantau atau datar, kecuali sepanjang ruas jalan Kayu Tanam – Padang Panjang, hal ini disebabkan kawasan ini termasuk satuan pegunungan vulkanik.

Jenis tanah dikategorikan sebagai aluvial, latosol dan organosil yang cenderung sangat mudah tererosi, batuan penyusun kawasan terdiri dari endapan permukaan alluvium dengan komposisi endapan pasir, kerikil dan liat. Tipe ekosistem yang ada dalam kawasan dikelompokkan sebagai tipe ekosistem non dipterocarpaceae bioma hutan hujan tropis dan sub bioma hutan tanah kering.

Ditemukan lebih dari 397 jenis tanaman yang terdiri dari 73 famili, yang didominasi oleh jenis Langkok-Lankok -bahasa Minang- (Arenga obtusifolia) dari keluarga Palmae dan jenis Kalek (Eugenia sp) dari keluarga Euphorbiaceae. Jenis Fauna yang berhasil dijumpai di kawasan ini lebih dari 97 jenis yang kebanyakan merupakan jenis burung.

Beberapa laporan juga menunjukkan keberadaan jenis Siamang (Hylobates syndactylus) di kawasan ini, khususnya di daerah sebelah kanan jalan raya Padang– Bukittinggi sering ditemukan sekelompok Siamang yang bergantungan di pohon. Burung-burung yang sering dijumpai di kawasan ini antara lain Enggang Tanduk (Buceros rhinoceros), Elang Hitam (Aviceda leuphotes), dan Balam (Macropygia unchal, M. ruficeps).

Melimpahnya populasi jenis Monyet (Macaca sp) di kawasan ini menjadi salah satu tontonan yang menarik, sering dijumpai kelompok Monyet yang keluar dari hutan dan bergerombol di pinggir jalan, tampaknya kelompok Monyet tersebut telah terbiasa dengan kebiasaan sebagian pengguna jalan yang menyempatkan berhenti dan memberi makan.

Daerah Penyangga

Jorong Aie Mancue yang termasuk kedalam Kenagarian Singgalang Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar ditinjau dari jarak dan efeknya terhadap kawasan dikategorikan sebagai daerah penyangga kawasan Cagar Alam Lembah Anai. Daerah ini karena kondisi lingkungannya memiliki keterbatasan untuk dapat mengembangkan sistem pertanian secara normal, faktor pembatas utama adalah luasan, topografi dan bahan penyusun tanah yang didominasi oleh daerah berbatu-batu, hingga sebagian masyarakat memilih untuk bekerja di luar jorong mereka, selain itu karena sarana prasarana pendidikan yang ada masih terbatas, masyarakat memilih untuk menyekolahkan anaknya ke Padang Panjang atau ke Kayu Tanam.

Sebagian besar masyarakat telah mengetahui tentang keberadaan kawasan cagar alam, namun rendahnya akses yang dapat disediakan oleh fungsi kawasan ini terkesan membuat sebagian masyarakat kurang begitu apresiasif terhadap kegiatan pengelolaan kawasan cagar alam.

Pengelolaan

Lepas dari konteks pengelolaan kawasan ini sebagai cagar alam, pemanfaatan kawasan Air Terjun Lembah Anai sebagai daerah wisata yang telah lama dilakukan merupakan salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan kawasan yang memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan, selain itu di daerah sekitar kawasan dapat juga ditemui beberapa lokasi objek wisata alam, baik yang dikelola oleh swasta dan kawasan TWA Mega Mendung.

Pengusahaan daerah Air Terjun Lembah Anai yang dilakukan berdasarkan legalitas dari Bupati Tanah Datar, secara konseptual tidak lagi sejalan dengan mekanisme pengelolaan kawasan ini sebagai cagar alam perlu dilakukan pendekatan yang tidak merugikan seluruh pihak. Pengusahaan objek wisata di luar kawasan yang dilakukan oleh PT. Anai Botanical Garden di sebelah barat kawasan dan TWA Mendung di bagian timur air terjun menambah semarak aktifitas rekreasi dan peristirahatan di daerah ini. Selain menawarkan wisata pemandangan alam, pengusaha wisata alam ini memiliki beberapa fasilitas yang menarik untuk dikunjungi, diantaranya kolam pemandian, lapangan golf, penyewaan villa, kebun koleksi tanaman (arbonertum) dan sarana yang cukup memadai (lapangan parkir, mesjid dan jalan raya).

Sarana prasarana pengelolaan kawasan yang ada saat ini masih merupakan sarana pengelolaan dasar yang dapat digunakan secara fungsional, di kawasan ini terdapat pos jaga dan barak Polhut yang kadang dimanfaatkan juga oleh peneliti yang mengadakan penelitian di kawasan ini sebagai camp dan tempat menginap.

Pendidikan dan penelitian

Untuk kepentingan pengembangan kegiatan pengelolaan potensi kawasan ini di masa mendatang masih terbuka kemungkinan untuk melakukan riset dan penelitian, beberapa riset yang pernah dilaksanakan oleh LIPI di kawasan ini berhubungan dengan keberadaan anggrek dan kelompok jahe liar. Jenis riset yang disarankan adalah adalah yang berkaitan dengan penyebaran jenis tanaman eksotik di kawasan cagar alam dan penelitian tentang tanaman langka seperti jenis Andalas, Bunga Bangkai dan Padma Raksasa, atau riset yang berhubungan dengan studi prilaku jenis satwa Siamang dan Burung Rangkong.

Kaitannya dengan penyebaran flora langka, diperkirakan dahulunya daerah ini merupakan salah satu daerah penyebaran Rafflesia sp (Bunga Padma Raksasa), salah satu buktinya di daerah TWA Mega Mendung (dulunya merupakan kawasan CA Lembah Anai) ditemukan beberapa lokasi tempat tumbuhnya jenis tanaman langka ini. Pengelolaan kawasan ini dilakukan oleh Seksi KSDA Wilayah II Tanah Datar. Sedangkan pengawasan seharihari dilakukan oleh Resort KSDA yang memangku kawasan Cagar Alam Lembah Anai bersama dengan kawasan Taman Wisata Alam Mega Mendung. Jika anda memiliki rencana atau ingin tahu lebih banyak tentang kawasan ini, kami sarankan untuk menghubungi kantor Balai KSDA Sumatera Barat ataupun Kepala Resort kawasan yang sehari-hari mengelola kawasan ini dan berkantor di kawasan.

5. CA Lembah Harau

Umum

Kawasan Lembah Harau pertama kali dibuka pada tanggal 14 Agustus 1926 oleh Asisten Residen Limapuluh Kota (BO Weirkein) bersama dengan Tk. Laras Dt. Kuning Nan Hitam dan Asisten Damang, bukti pembukaan kawasan ini dapat dilihat pada prasasti yang terdapat di dekat air Terjun Sarasah Bunta.

Ditunjuk berdasarkan Besluit Van Der Gouverneur General Van Netherlanch Indie No. 15 Stbl 1933 tanggal 10 Januari 1933 sebagai Nature Reserve (Cagar Alam) seluas 298 ha. Kemudian dengan terbitnya Keputusan Menteri Pertanian No. 478/Kpts/Um/8/1979, 27,5 ha dari kawasan cagar alam dialih fungsikan menjadi taman wisata alam dengan nama sama hingga luasan kawasan yang tetap berfungsi sebagai kawasan cagar alam menjadi 270,5 ha. Menurut tata letaknya kawasan ini berbatasan dengan daerah sebagai berikut:

Sebelah utara dengan APL dan Nagari Harau, bagian selatan Nagari Tarantang Solok Bio-Bio Lubuk Limpato, sebelah timur dengan HL Mahat I dan sebelah barat dengan Nagari Tarantang.

Aksessibilitas

Aksessibilitas kawasan relatif baik, kawasan ini terletak + 3 km dari ruas jalan negara Padang – Pekanbaru, dari Kota Payakumbuh berjarak + 20 km. Ruas jalan menuju ke kawasan telah diaspal dan dapat dilewati dengan kendaraan roda empat dengan lancar.

Potensi

Formasi geologi kawasan terbentuk dari susunan formasi batuan yang terdiri dari neogone, peleogonaoligocene dan permeo-karbon dengan jenis tanah podsolik merah kuning dan litosol yang bahan induknya berupa batuan beku. Disamping itu ditemukan juga sebagian kecil jenis tanah litosol dengan bahan induk berupa batuan beku fisiografi vulkan.

Topografi kawasan berbukit-bukit (bergelombang), landai dan terdapat tebing-tebing yang curam. Keberadan tebingtebing curam ini menjadi ciri khas kawasan yang tidak dapat ditemui di daerah manapun, selain itu di daerah ini dapat juga ditemui beberapa ngalau (bahasa Minang; Goa), yang masih belum banyak diketahui deskripsinya, seperti Ngalau Tapak Nabi dan Ngalau Panjang. Terdapat 4 aliran sungai yang mengalir dari kawasan ini, yaitu Batang Simalokama, Batang Air Putih, Sungai Air Tiris dan Batang Harau. Sungai tersebut tidak terlalu besar, namun memiliki peran penting bagi masyarakat daerah sekitarnya sebagai sumber air, baik keperluan sehari-hari maupun dalam sistem produksi masyarakat.

Seperti layaknya daerah hutan di Sumatera Barat, tipe ekosistem kawasan Cagar Alam Lembah Harau dikelompokkan sebagai tipe ekosistem hutan hujan campuran non dipterocarpaceae yang didominasi oleh jenis tumbuhan tingkat tinggi. Data yang ada menunjukkan di kawasan ini dapat ditemukan 73 jenis pohon dengan dominasi jenis beragam pada setiap tingkat pertumbuhan.

Pada tingkat pohon jenis yang mendominasi adalah jenis tanaman Santua. Dipandang dari kelas diameter pohon yang ada di kawasan ini relatif didominasi oleh pohon dengan diameter kecil – menengah, hampir tidak ditemui jenis kayu yang memiliki diameter besar di kawasan ini, hal tersebut diduga selain karena tegakan hutan kawasan ini merupakan tegakan sekunder juga karena jenis tanah kawasan yang didominasi oleh batuan hingga pertumbuhan tanaman terhambat.

Kondisi kawasan Cagar Alam Lembah Harau yang berbukit tegas dan curam merupakan ciri khas kawasan yang tidak dapat ditemui di kawasan lain, keberadaan dinding-dinding cadas tersebut telah melekat dan identik dengan kawasan Lembah Harau. Dinding-dinding cadas tersebut kadang dimanfaatkan oleh penggiat kegiatan olahraga panjat tebing untuk melakukan kegiatan climbing, namun frekuensinya masih belum teratur.

Pengelolaan

Aktifitas wisata di kawasan ini terutama dilakukan di Taman Wisata Alam Lembah Harau, namun sebenarnya nilai jual wisata alam di kawasan taman wisata alam tidak berdiri sendiri, dinding-dinding cadas yang seperti telah disinggung diatas menurut tata letaknya berada di kawasan cagar alam, hingga dapat disederhanakan bahwa pengelolaan dan pengusahaan wisata alam di daerah Lembah Harau merupakan pemanfaatan objek wisata yang berada di taman wisata alam (terutama air terjun, shovenir shop dan sarana prasarana wisata) dan view (pemandangan tebing dan tegakam hutan) kawasan cagar alam.

Pemanfaatan kawasan ini sebagai daerah wisata khusus sebagaimana yang dapat ditampung dalam fungsinya saat ini belum terlalu banyak dilakukan, hal ini selain karena minimnya sarana prasarana dan publikasi tentang objek wisata yang ada dalam kawasan ini diduga juga karena pola pendekatan pengelolaan wisata yang selama ini dipusatkan hanya pada daerah taman wisata alam.

Padahal dari segi kekayaan biodiversity, kawasan ini selain menyimpan jenis hidupan liar, juga terbukti merupakan daerah yang kaya dengan jenis tumbuhan yang unik dan menurut beberapa ahli memiliki penyimpangan dari jenis tumbuhan yang umum ditemukan di daerah lain.

Jenis tumbuhan yang dapat ditemui terutama jenis tanaman perdu dan semak, seperti anggrek dan kantong semar, memiliki habitat yang luas di kawasan ini dengan jenis yang bermacam-macam hingga sangat menarik untuk diamati.

Karena kondisi lingkungan yang berbatu dan dan berbukit, kawasan ini dulunya merupakan habitat jenis Kambing Hutan yang memang menyukai daerah perbukitan dan berbatu sebagai habitatnya, namun hingga saat ini belum ada laporan terbaru yang dapat dipercaya mengenai keberadaan satwa ini di kawasan Cagar Alam Lembah Harau.

Aktifitas non wisata yang dilakukan di kawasan ini lebih banyak berupa penelitian dan pendidikan, daerah ini secara teratur tiap tahun biasanya merupakan daerah PU (praktek umum) dan PKL (Praktek Kerja Lapangan) mahasiswa dari Universitas Andalas dan Universitas Muhammaddiyah Sumatera Barat.

Daerah Penyangga

Pengelolaan kawasan dipandang dari segi sosialisasi keberadaan kawasan kepada masyarakat dipandang cukup berhasil, hal ini tentunya juga didukung fase penunjukkan dan pengelolaan kawasan yang telah berlangsung sejak lama (jaman Hindia Belanda) namun sayangnya dari segi peningkatan partisipasi masyarakat untuk ikut mengelola kawasan masih sangat minim, bahkan karena pengelolaan di jaman Belanda dulunya menurut informasi petugas dan masyarakat setempat dilakukan dengan tangan besi.

Di satu sisi penerapan hukuman tersebut mungkin membantu dalam mempertahankan integritas kawasan, namun disisi lain diakui merupakan sandungan bagi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam proses pengelolaan kawasan ini. Menurut informasi yang ada, kawasan cagar alam dulunya merupakan tanah ulayat masyarakat Nagari Lubuk Limpato yang diserahkan kepada pemerintah untuk dikelola sebagai kawasan konservasi, salah satu buktinya adalah Buku Informasi Kawasan Konservasi 27 Harau – Pemandangan sekitar Lembah Harau. I Budi Novella, 2009 keterdapatan kompleks pekuburan masyarakat (bahasa minang: Pandam) di dalam kawasan ini, selain itu pada beberapa daerah di kawasan ini dapat ditemui keberadaan jenis budidaya seperti Petai dan jengkol.

Tata bangun kawasan yang mengelilingi nagari Lubuk Limpato dan keterbatasan lahan pertanian menyebabkan masyarakat Nagari Lubuk Limpato memilih untuk membuka hutan ataupun berladang di daerah yang jauh dari pemukiman mereka. Hal ini lebih lanjut menimbulkan sebab banyaknya jalanjalan setapak yang menembus kawasan, jalan-jalan setapak tersebut digunakan oleh masyarakat untuk mencapai lahan perkebunan, menurut perkiraan sementara lebih dari 50 ruas jalan setapak menumbus kawasan ini.

Masalah

Beberapa permasalahan dalam pengelolaan kawasan CA Lembah Harau antara lain adalah sebagai berikut;

1. Kawasan cagar alam diharapkan berperan sebagai buffer aktifitas wisata yang marak dilakukan di TWA Lembah Harau, namun luas kawasan cagar alam sendiri relatif kecil — hanya 257,24 ha –, dinilai tidak mampu memainkan peran signifikan bagi pengaturan tata air yang mengalir dan dimanfaatkan sebagai objek wisata di TWA Lembah Harau. Tidak heran terkadang pada musim kemarau panjang, air terjun yang mengalir di TWA Lembah Harau kering dan tidak mengalir. Keberadaan hutan lindung yang menyangga cagar alam lebih lanjut perlu didorong dan dipertahankan sehingga aktifitas wisata alam dapat terus dilakukan sepanjang tahun;

2. Dari pengalaman pengelolaan kawasan, daerah cagar alam cukup rawan kebakaran, tercatat adanya kejadian kebakaran di kawasan ini, topografi yang curam menyulitkan untuk segera merespon kejadian kebakaran yang terjadi di puncak bukit.

Untuk itu kegiatan penanganan kebakaran hutan di daerah ini lebih disarankan difokuskan kepada upaya pencegahan seperti pelaksanaan penyuluhan dan pengawasan intensif.

Rencana Pengembangan

Sesuai dengan sejarah dan karakteristik kawasan Cagar Alam Lembah Harau, ke depan akan dilaku-peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan ini, dengan memberikan akses yang lebih baik bagi masyarakat untuk ikut berperan serta dalam pemanfaatan potensi tidak langsung kawasan, hal ini tentunya akan menemui kendala dalam format fungsi kawasan ini sebagai cagar alam, namun diharapkan dengan singkronisasi yang lebih baik dengan pengelolaan wisata di TWA Lembah Harau, diharapkan akan mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Pengelolaan TWA Lembah Harau yang selama ini dilakukan terkesan mengeyampingkan keberadaan kawasan cagar alam sebagai induk dari kawasan taman wisata alam ini dulunya. Selain itu karena posisi letaknya, Taman Wisata Alam berada ditengah-tengah kawasan cagar alam, hingga keberadaan kawasan dan potensinya juga sangat tergantung pada kawasan cagar alam. Karena itu untuk masa mendatang perlu dikaji kemungkinan mewajibkan pengusaha wisata alam di taman wisata alam untuk berkontribusi dalam pengelolaan kawasan cagar alam, dana tersebut nantinya dikelola bersama masyarakat untuk memberikan peluang masyarakat daerah sekitar untuk meningkatkan perekonomian dan menimbulkan pola hubungan yang lebih baik di landasi saling pengertian antara masyarakat dan kawasan cagar alam nantinya.

Untuk pengembangan penelitian dan pendidikan di kawasan ini akan diarahkan pada 2 upaya, yaitu:

1. Penelitian jenis flora di kawasanyang masih belum ada datanya hingga saat ini, yaitu dari jenis Kantong Semar (Nephenthes sp) dan dari jenis angrek alam. Lembah Harau sangat kaya dengan jenis ini yang jika ditinjau dari potensi keindahannya mungkin potensial untuk dikembangkan sebagai tanaman hias.

2. Melakukan penelitan dan pendidkan yang berkaitan dengan keunikan ekosistem pegunungan yang jarang ditemui di daerah lain di Sumatera Barat.

6. CA Maninjau

Umum

Awalnya daerah hutan sekitar Danau Maninjau ini merupakan daerah hutan bousweiseen, atau kadang disebut juga memiliki fungsi sebagai hutan simpanan atau hutan lindung yang termasuk kelompok hutan register 7. Tahun 1982 kawasan ini ditunjuk sebagai kawasan Suaka Alam melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 623/Kpts/ Um/8/1983 tanggal 22 Agustus 1982. Kawasan ini pada bagian Utara, Selatan dan Timur berbatas dengan hutan lindung, sedangkan pada bagian barat berbatas dengan areal penggunaan lain. Secara geografis terletak pada 1000 17’ 38,3999” BT – 1000 3’ 7,2” BT dan 00 11’ 2,5764” LS – 00 dt 26’ 10,8168” LS.

Pengelolaan kawasan dilakukan bersama antara Seksi Konservasi Wilayah I (untuk daerah Kabupaten Agam) dan Wilayah II (Kabupaten Padang Pariaman). Kawasan ini baru saja ditetapkan sebagai kawasan Cagar Alam melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.598/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 setelah sebelumnya masih berfungsi umum sebagai kawasan konservasi/ KSA/ KPA.

Ekosistem dan Biotik

Kawasan ini memiliki bentang topografi bergelombang (berbukit) sampai terjal dengan dinding-dinding alam yang curam. Hasil pengamatan peta topografi menunjukkan bentang kawasan terbagi menjadi 4; kisaran lereng 0 – 15 % (landai) seluas 2.121 (9,6%), lereng 15 – 25 % (agak curam) seluas 3.290 (14,9%);, lereng 25 – 40 % (curam) seluas 14.706 (66,5%) dan kelerengan > 40 % (sangat curam) seluas 1.989 (9,0%).

Dari kawasan ini mengalir tiga sungai besar yaitu Sungai Gadang, Sungai Landir, dan Batang Antokan. Sebagian besar daerah ini terdiri dari bukit-bukit curam yang mengelilingi Danau Maninjau, batas dengan areal pemukiman masyarakat banyak didominasi oleh sawah dan ladang masyarakat.

Tipe ekosistem kawasan ini dikategorikan sebagai Hutan Hujan Campuran Non-Dipterocarpaceae yang terbagi lagi menjadi; hutan sub montana (diperkirakan 30% dari luas kawasan, terletak di pinggiran danau Maninjau diantaranya di daerah Pasar Maninjau, Koto Malintang, Dalko dan Duo Sidang), hutan montana (diperkirakan 20% dari luas kawasan, di daerah Bayur, Koto Baru, Pasar Raba’a dan Koto Kaciak) dan hutan sub alpina yang tersebar di daerah Koto Tinggi, Paninjauan, Balai Lelo, Pantai Barat, Sungai Batang Selatan dan Sungai Batang Utara.

Jenis satwa endemik di daerah ini adalah Selusur Maninjau (Homaloptera gymnogaster) yang telah ditetapkan sebagai jenis ikan dilindungi di Indonesia. Kemudian jenis satwa dilindungi yang sering dilaporkan di kawasan ini adalah Kambing Hutan (Capricornis sumarensis) yang hidup di daerah perbukitan batu yang banyak terdapat di kawasan ini.

Selengkapnya beberapa jenis satwa yang dilaporkan pernah diketahui terdapat di kawasan ini adalah; Accipiter sp (Elang), Antherococeros malayanis (Kikiak (Minang)), Argusianus argus (Kuau), Buceros rhinoceros (Enggang, Anggang), Chrysolapltes lucidus (TaguakTaguak (Minang)), Copsychus malabicus (Kucica, Murai Batu (Minang) ), Crininger ochraceus (Baki (Minang)), Dicrurusaeneus sp (Sawai (Minang)), Rhipidulaereola sp (Murai Daun (Minang)), Thereron fulri (Punai), Hylobates agilis (Ungko), Hystrix alpium (Landak), Felis bengalis (Kucing Hutan), Nycticebus coucang (Kukang), Paradoxurus hermaproditis (Musang), Tapirus indicus (Tapir), Manis javanica (Trenggiling), Tragulus javanicus (Kancil), Helarctos malayanus (Beruang Madu), Prsbytis melalops (Simpai), Muntiacus muncak (Kijang), Hylobates sindactylus (Siamang), Panthera tigris Sumatraensis (Harimau Sumatera), dan Cervus unicolor (Rusa).

Wisata Alam

Cagar Alam Maninjau mempunyai beberapa potensi wisata yang menarik dan dapat dikembangkan, yaitu berupa Panorama dari Matur pada bagian yang mengitari Danau Maninjau sampai di Koto Malintang. Khususnya di daerah Matur, potensi wisata ini telah dikembangkan oleh Pemda setempat, terutama daerah embun pagi yang menawarkan view Danau Maninjau dari ketinggian dan beberapa sarana wisata yang telah dibangun di daerah Puncak Lawang.

Daerah puncak lawang telah dikembangkan kegiatan wisata paralayang/ gantole, hingga saat ini telah ada event tahunan pelaksanaan kegiatan paralayang di daerah ini. Selain itu keindahan alam berupa tebing-tebing batas luar Suaka Alam mulai dari Dalko sampai Pantai Panjang, serta kebudayaan alam Minangkabau mulai dari Sungai Batag Selatan, Sungai Batang Utara- sampai Desa Duo Sidang.

Selain hal diatas, juga ditemui keramba-keramba ikan di sepanjang jalan menuj Danau Maninjau dari arah Lubuk Basung yang mengundang minat turis untuk tujuan wisata serta wisata pendidikan.

Daerah sekitar Sungai Batang yang merupakan asal kelahiran Buya Hamka, dikembangkan kegiatan wisata dakwah dan panorama alam.

7. CA Rimbo Panti

Umum

Kawasan Cagar Alam Rimbo Panti yang termasuk register 75 pertama kali ditunjuk melalui Gubernur Besluit No. 34 staatblat 420 tanggal 8 Juni 1932 dengan luas awal 3.120 ha, kemudian pada tahun 1979 dengan Keputusan Menteri Pertanian No. 284/Kpts/ Um/6/1979 tanggal 1 Juni 1979 sebagian areal cagar alam dialihfungsikan menjadi taman wisata alam dengan nama sama seluas 570 ha.

Penunjukkan kawasan ini sebagai kawasan konservasi diduga karena keanekaragaman flora fauna yang sangat tinggi, serta kelengkapan tipe ekosistem asli yang mewakili tipe hutan tropis dataran rendah, yang cukup jarang dijumpai di Sumatera Barat.

Menurut tata letak administratifnya, kawasan ini terletak di Kabupaten Pasaman, daerah penyangga terdekat Nagari Panti, Petok, Padang Lapai berbatasan langsung dengan kawasan ini.

Aksessibilitas

Kawasan Cagar Alam Rimbo Panti berada di tepi jalan raya Padang – Medan, tepatnya di Ruas Lubuk Sikaping – Panti dengan jarak + 210 km dari Kota Padang (dapat ditempuh selama 4 jam dengan kecepatan normal) dan + 20 km dari Lubuk Sikaping dan + 1 km dari Panti.

Karena terletak di ruas jalan yang dikategorikan sebagai jalan negara, untuk mencapai kawasan ini cukup mudah. Karena permasalahan akksessibilitas dan kemajuan daerah, sarana transportasi umum yang tersedia dari kota Padang menuju kawasan kadang masih terbatas, anda dapat menaiki kendaraan umum yang akan menuju Kota Lubuk Sikaping dan melanjutkan perjalanan dengan angkutan lokal ke Panti ataupun menggunakan kendaraan umum yang menuju Kota Medan dan turun di kawasan. Jika berkeinginan melakukan perjalanan ke kawasan ini untuk beberapa hari, lebih disarankan menginap di Kota Lubuk Sikaping dengan sedikit mengorbankan waktu untuk bolak-balik Lubuk Sikaping – Panti, namun lebih nyaman.

Ekosistem dan Biotik

Kawasan CA Rimbo Panti memiliki kelerangan bervariasi mulai dari landai sampai kelerengan lebih dari 600, dengan konfigurasi datar, berbukit-bukit dan berawa-rawa. Pada bagian sebelah timur relatif datar sedangkan kawasan yang terletak pada bagian sebelah barat lebih berbukit-bukit. Batas kawasan ini sepanjang 36 km terdiri dari batas luar (batas kawasan dengan daerah milik masyarakat) sepanjang 21,6 km dan batas fungsi (batas dengan kawasan hutan lain) sepanjang 11,2 km.

Jenis tanah di kawasan ini terdiri alluvial, andosol dan komplek podsolik merah kuning, litosol yang berasal dari bahan induk batuan beku, endapan dan metafort, jenis tanah ini sangat peka terhadap erosi, permeabilitas 3,0 cm/jam, kesuburan tanah sedang, dengan tekstur tanah berkisar antara lempung berpasir-pasir dengan pH tanah berkisar antara 5,9-7,8 (asam-netral). Dipandang dari sudut geologi, kawasan ini termasuk ke dalam dataran pantai Bukit Barisan pada cekungan Lubuk Lubuk Sikaping – Medan sepanjang + 500 m yang tersusun oleh batu kapur dan granit, di sekitarnya terdapat beberapa bukit seperti Bukit Taruko, Bukit Sahutan, Bukit Air Abu, Bukit Gadang dan Bukit Sontang.

Stratografi kawasan tersusun dari beberapa jenis batuan, antara lain: satuan batuan metamorf, satuan batu kristalin dan satuan garanodiorit/ Granit Di dalam dan disekitar kawasan Cagar Alam Rimbo Panti terdapat beberapa buah sungai, yaitu Batang Sumpur, Batang Air Langkup, Hulu Sungai Situak, Sungai Beremas Kecil, Batang Situak dan Batang Pasar Petok.

Batang Sumpur yang terletak disebelah barat kawasan Cagar Alam dengan debit 6,2 m3 /dt telah lama dimanfaatkan untuk menopang saluran irigasi Panti – Rao. Namun diduga karena perubahan kondisi dan kemampuan daerah aliran sungainya, debit air sungai ini tidak lagi terkendali dan sejak Nopember 2002 meluap menggenangi kawasan.

Kawasan Cagar Alam Rimbo Panti terbelah oleh ruas jalan negara yang menghubungkan Propinsi Sumatera Barat dan Propinsi Sumatera Utara sehingga mudah ditempuh dengan menggunakan segala macam kendaraan darat. Namun tidak seperti kawasan Cagar Alam Lembah Anai, vegetasi di sebelah kanan dan kiri jalan menunjukkan adanya perbedaan populasi dan jenis yang cukup jelas, di kawasan ini tidak terlalu jelas batasannya, hal ini diduga karena tidak adanya perbedaan mencolok dalam penyinaran sinar matahari. Didalam kawasan ini dapat dijumpai dua tipe sub biome hutan, yaitu Sub biome hutan hujan tanah kering dan sub biome hutan hujan tanah rawa.

1. Sub biome hutan hujan tanah kering. Merupakan hamparan perbukitan dataran rendah (+ 300 m dpl) sampai dengan punggung bukit bergelombang pada ketinggian 800 m dpl dengan sudut kelerangan berat, luasnya diperkirakan 1/3 dari luas total cagar alam.

Menurut hasil penilitian ditemukan 46 jenis pohon pada petak yang luasnya hanya 0,05 ha di daerah habitat peralirahan antara rawa dan tanah kering, sedangkan pada ketinggian 600 – 900 m dpl ditemukan 29 jenis pohon dalam petak 200 m2, dan 20 jenis pohon dalam petak 2.000 m2 pada ketinggian 200 – 600 mdpl.

2. Sub biome hutan hujan tanah rawa. Daerah dengan ketinggian 200 m dpl berupa rawa lembab sampai berair, daerah rawa hampir menutupi 2/3 dari luas kawasan, mempunyai struktur vegetasi seperti hutan hujan dataran rendah. Vegetasi daerah ini sangat berbeda dengan daerah rawa di daerah-daerah dekat pantai yang selalu didominasi oleh jenis Basung (Alstonia sp), pada tanah lembab yang merupakan peralihan antara tanah rawa dan kering terdapat beberapa sumber mata air panas, vegetasi yang mendominasi didaerah ini adalah Jawi-Jawi (Ficus sp) dan Paku (Dipteris sp).

Sub biome hutan hujan tanah rawa ini, berdasarkan strukutur vegetasinya tipe ekosistemnya dapat diketegorikan kembali menjadi:

a. Tipe ekosistem air panas;

b. Tipe ekosistem tanah lembab yang dicirikan oleh jenis dominan yaitu Haploophragma macrolobum, Leea sp, dan keluarga Beringin (Moraceae).

c. Tipe ekosistem rawa Terminalia catapa (Ketapang).

Menurut hasil identifikasi potensi flora fauna Cagar Alam Rimbo Panti di kawasan ini dapat dijumpai tidak kurang dari 28 jenis flora, yang menarik adalah disini dapat dijumpai keragaman jenis dipterocarpaceae yang merupakan jenis komersial primadona hutan Indonesia, yang di kawasan konservasi lain di Sumatera Barat kurang umum dijumpai.

Menurut hasil analisis vegetasi dalam rangka penyusunan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Rimbo Panti, plot pengamatan dataran tinggi memiliki tingkat keragaman jenis yang lebih tinggi, terhitung 25 jenis/ 1.000 m2 sedangkan dilokasi rawa lebih rendah, yaitu hanya 17 jenis/ 1.000 m2 .

Jenis tanaman yang spesifik di daerah ini diketahui adalah jenis Limau Hantu (Streblus illicifolius) dari keluarga Moraceae, sedangkan jenis langka/ dilindungi yang pernah ditemukan adalah Amorphophalus titanum (Bunga Bangkai), Rafflesia arnoldi (Padma Raksasa), Morus mocraura (Andalas) dan berbagai jenis anggrek. Jenis fauna yang dijumpai tercatat lebih banyak, di kawasan ini pernah dilaporkan terdapat lebih dari 123 jenis fauna, yang terdiri dari 11 jenis ikan, 4 jenis amphibia, 8 jenis reptilia, 81 jenis burung/ aves dan 18 jenis mamalia.

Selain jenis satwa tersebut, satwa yang mungkin potensial dan dapat dikembangkan di daerah kawasan ini adalah Lebah (Apis spp) dan berbagai jenis Kupu-Kupu (Lepidoptera). Menurut informasi dari berbagai kalangan termasuk dari kalangan peneliti, di kawasan ini dulunya pernah ditemukan jenis Orang Hutan (Pongo pygmeus) yang keberadaannya sekarang diduga sudah punah di daerah ini. Kondisi terakhir menunjukkan kawasan di kawasan ini masih terdapat jenis-jenis mamalia besar, khususnya jenisjenis top predator yang dapat mengindikasikan kondisi lingkungan yang masih cukup baik.

8. SM Barisan I

Umum

Kawasan ini merupakan kawasan konservasi terluas yang dipangku oleh Balai KSDA Sumatera Barat, posisi strategis kawasan dalam mendukung sistem penyangga kehidupan di daerah-daerah pusat pertumbuhan propinsi Sumatera Barat menuntut keberadaan kawasan ini agar selalu dipertahankan.

Secara administrasi pemerintah terletak di Propinsi Sumatera Barat yang wilayahnya melintasi 4 (empat) daerah kabupaten dan kota, yaitu Tanah Datar, Solok, Padang Pariaman dan Kota Padang.

Secara geografis terletak pada posisi 1000 37’ 26,3999” BT – 1000 20’ 52,7999” BT dan 00 29’ 43,3644” LS – 00 59’ 41,1252” LS. SM Barisan memiliki batas sebagai berikut; sebelah barat berbatasan dengan hutan lindung, berbatasan dan sekaligus menjadi daerah tangkapan air Danau Singkarak, sebelah timur berbatasan dengan hutan lindung dan Kota Padang, sebelah utara berbatasan dengan hutan lindung dan Cagar Alam Lembah Anai di Kabupaten Tanah Datar dan sebelah selatan berbatasan dengan SM Tarusan Arau HIlir.

Penunjukkan kawasan sebagai suaka margasatwa berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.595/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016.

Aksessibilitas

Kawasan ini terletak + 20 km dari Kota Padang ke arah utara, di beberapa bagian kawasan dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda 4 hingga ke batas kawasan. Kawasan ini dikelola sehari hari oleh Seksi KSDA Wilayah III Sawahlunto/ Sijunjung di Muaro Sijunjung (85 km dari kawasan) dan Seksi KSDA Wilayah II Tanah Datar di Batusangkarn (28 km), sedangkan dari kantor resort Padang Pariaman berjarak 25 km, Resort Koto Baru 8 km, Pos Jaga Tambangan, 1 km dan dari pos jaga Asam Pulau 1 km.

Ekosistem dan Biotik

Topografi kawasan ini dilukiskan sebagai datar, bergelombang (berbukit) sampai terjal dengan kelerengan berkisar antara 10% – 50 %. Ketinggian minimum kawasan dari permukaan laut terukur 100 m dpl dengan ketingginan maksimum mencapai 2.000 m dpl.

Kawasan KSA/ KPA Barisan I terbentuk dari susunan batuan dengan formasi tanah aluvial kasar, batuan beku basa, batu gamping dan batu pasir. Tipe iklim kawasan menurut pembagian iklim oleh Schimdt dan Ferguson dikategorikan sebagai iklim tipe A dengan curah hujan rata-rata tahunan 2.500 – 4.000 mm, kelembaban 52 % sampai 89 % dan temperatur menurut celsius berkisar antara 190 sampai 320.

Kawasan ini memiliki fungsi penting untuk mengatur tata air di beberapa daerah penting seperti Kota Padang dan Padang Panjang yang merupakan salah satu kota dengan penduduk terpadat di Sumatera Barat. Selain menyangga kota tersebut, kawasan ini memiliki pengaruh terhadap pasokan air Danau Singkarak yang saat digunakan digunakan sebagai sumber tenaga pembangkit listrik PLTA Singkarak, wisata dan rekreasi serta perikanan rakyat. Ekosistem kawasan dikategorikan sebagai hutan hujan campuran non dipterocarpaceae yang dibagi lagi sesuai dengan ketinggian tempat menjadi, hutan dataran rendah, hutan sub montana, hutan montana dan hutan sub alpina.

Jenis flora yang pernah ditemukan di kawasan ini antara lain adalah Accipiter badius (Elang Alap Shikra), Butastur indicus (Elang Kelabu), Circus spilonotus (Elang Rawa Timur), Haliastar indus (Elang Bondol), Ictnaetus malayensis (Elang Hitam), Pernisa ptilorhynchus (Sikep Madu Asia), Spilormis cheela (Elang Ular Bido), Actenoides concretus (Cekakak Hutan Kekuwai), Alcedo anthis (Raja Udang Erasia), Halcyon chorosis (Cekakak Sungai Kecil), Pelargopsis capensis (Pekak Emas), Bubucul ibis (Kuntul Kerbau), Anthracoceros abirostris (Kangkareng Perut Putih), Berenicornis comatus (Engggang Ekor Abu-Abu), Buceros rhinoceros (Rangkong Badak), Rhinoplax vigil (Enggang Gading), Ciconia episcopus (Bangau Sandang Lawe), Falco tinnunculus (Alap-Alap Eurasia), Aethopyga temminckii (Burung Madu Ekor Panjang), Anthreptes simplex (Burung Madu Polos), Anthreptes singalensis (Burung Madu Belukar), Anthreptes malacensis (Burung Madu Kelapa), Arachnothera robusta (Pijantung Besar), Nectarina sperata (Burung Madu Penganten), Argusianus argus (Kuau Raja), Capricornis sumatrensis (Kambing Gunung), Cervus unicolor (Rusa), Muntiacus muncak (Kijang), Cynopcephalus veriegatus (Lemur Terbang), Felis bengalensis (Kucing Hutan), Felis planiceps (Kucing Ikan), Neofelis nebulosa (Kucing Dahan), Panthera tigris Sumatrensis (Harimau Sumatera), Hylobates agilis (Ungko), Hylobates syndactylus (Siamang), Hystrix brachyura (Landak), Nycticebus coucang (Kukang), Manis javanica (Trenggiling), Ratufa bicolor (Kerawak Hitam), Rattus rattus, Aonyx cinnera, Sus scrofa (Babi Hutan), Tapirus indicus (Tapir), Tragulus javanicus (Pelanduk), Tragulus napu (Napu), Helarctos malayanus (Beruang Madu), Arctitis binturong (Binturung), Prinodon linsang (Linsang), Viveria tangalunga.

Hasil pelaksanaan kegiatan ekspedisi kawasan KSA/ KPA Barisan I pada tahun 2009 mengindikasikan hal-hal sebagai berikut:

1. Maraknya aktifitas perburuan dengan menggunakan jerat, penemuan jerat di kawasan (hingga + 5 km ke dalam kawasan) memberikan gambaran bahwa kegiatan pemasangan jerat ini tidak lagi dapat dikategorikan sebagai pekerjaan sambilan, diduga kegiatan ini merupakan salah satu aktifitas utama karena lokasi pemasangan yang jauh ke dalam hutan tentunya memerlukan waktu lama dan khusus. Hal ini lebih lanjut menyebabkan menurunnya satwa mangsa mangsa, hingga pada daerah yang dipasang jerat, tanda-tanda keberadaan Harimau tidak dapat terdeteksi.

2. Penebangan liar yang ditemukan di daerah Kota Padang menunjukkan bahwa arah pergerakan penebangan kayu di daerah Batu Busuk saat ini telah mulai masuk ke kawasan Suaka Alam Barisan I.

3. Kondisi habitat kawasan di daerah Kota Padang relatif lebih baik, walaupun terjadi penebangan karena masih ditemukan tanda-tanda keberadaan satwa Harimau Sumatera dan Tapir.

4. Penemuan secara langsung maupun identifikasi suara jenis Rangkong (Buceros rhinocheros) dapat juga dijadikan indikator kondisi lingkungan yang masih cukup baik untuk mendukung kehidupan satwa burung, burung Rangkong menurut beberapa literatur juga dapat dikategorikan sebagai spesies kunci untuk jenis burung karena jenis ini termasuk peka terhadap perubahan ekosistem dan habitatnya;

5. Terbatasnya akses masuk ke kawasan dapat menjadi salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan, khususnya bagi kepentingan pengawasan dan pengamanan kawasan, sehingga kawasan lebih mudah diawasi.

KPHK Arau Hilir dan Wisata

Sejak tahun 2013 kawasan ini termasuk dalam pengelolaan KPHK Arau Hilir bersama kawasan SM Tarusan Arau Hilir, diharapkan dengan peningkatan kinerja pengelolaan kawasan kelestarian kawasan dan pemanfaatan potensipotensi jasa lingkungan kawasan (terutama wisata dan jasa lingkungan air) di kawasan dapat memberi peluang positif bagi pengembangan kehidupan masyarakat sekitar kawasan dan mendukung pengelolaan kawasan. Lokasi pengembangan wisata yang terdapat di kawasan ini antara lain adalah lokasi Ngunngun Saok, Kota Padang dan Puncak Gagawan Kabupaten Solok.

9. SM Malampah Alahan Panjang

Umum

Kawasan Malampah Alahan Panjang dulunya dikenal sebagai 2 kawasan yang terpisah, yaitu kawasan Malampah (Register 2) dan Alahan Panjang (Register 16). Kawasan ini ditunjuk sebagai kawasan konservasi awalnya melalui Keputusan Menteri Pertanian No.623/Kpts/Um/8/1982 tanggal 22 Agustus 1982. Dalam perjalanannya, pengelolaan kawasan ini dianggap sebagai satu kesatuan, dimulai dari penetapan rencana pengelolaan kawasan ini sebagai kawasan Malampah Alahan Panjang. Lalu kemudian keputusan penunjukkan kawasan terakhir melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 422/Kpts-II/1999 kawasan ini secara resmi mulai dikelola sebagai satu kesatuan. Secara administrasi pemerintahan, SM Malampah Alahan Panjang terletak di Kabupaten Pasaman, Limapuluh Kota dan sebagian kecil terletak di Kabupaten Agam. Di daerah Kabupaten Pasaman, kawasan ini terletak di Kecamatan Bonjol tepatnya di Nagari Muara Manggung, Ganggo Hilir dan Ganggo Mudik.

Di Kabupaten Limapuluh Kota, kawasan ini terletak di Kecamatan Gunung Omeh dan Kapur IX, sedangkan di daerah Kabupaten Agam, daerah kawasan ini terletak di daerah Kecamatan Palupuh. Secara georafis terletak pada posisi bujur 1000 22’ 8,3999” BT – 990 58’ 16,3199” BT dan lintang 00 8’ 51,9432” LU – 00 6’ 43,2” LS. Menurut pembagian wilayah pengelolaan, kawasan ini dikelola oleh Seksi Konservasi Wilayah I Pasaman yang berkedudukan di Lubuk Sikaping, Pasaman.

Aksessibilitas

Kawasan ini berjarak + 165 km dari ibukota propinsi (Padang), + 20 km dari ibukota Kabupaten Pasaman (Lubuk Sikaping ke arah Bukittinggi) dan + 3 km dari ibukota Kecamatan (Bonjol).

Ekosistem dan Biotik

Topografi kawasan didominasi oleh bentuk lapangan yang berbukit dan bergelombang. Pada SM Malampah Alahan Panjang banyak ditemui jenis batuan mineral yang bernilai ekonomi tinggi, diantaranya adalah emas dan mangan. Keberadaan mineral yang mengandung emas di daerah ini telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat, menurut informasi yang di dapat dari masyarakat kegiatan penambangan emas telah dimulai sejak penjajahan Belanda.

Di daerah ini keberadaan bahan galian ini hampir tersebar di seluruh kawasan, di kabupaten Limapuluh Kota ditemui di daerah jorong Pua Data Kecamatan Gunung Omeh. Tipe iklim kawasan termasuk tipe C menurut aturan yang dikemukakan oleh Schmidt dan Ferguson. Kawasan ini menurut pembagian daerah aliran sungainya, termasuk daerah aliran sungai (DAS) Masang yang berada di sebelah selatan kawasan. Sungai-sungai tersebut telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pengairan daerah persawahan, air minum, sanitasi dan perikanan air tawar.

Berdasarkan pengamatan pada peta daerah sekitar kawasan, ditemui beberapa sungai dan anak sungai yang mengalir di dalam dan di sekitar kawasan ini antara lain; Lubuk Gadang, A. Sarasah, A. Paninggiran, A. Bancah Laweh, A. Guntung, S. Beluka, A. Mudiak Simpang, B. Lurah Pak Kacang, BA Mudiak Kili, A. Balik, BA Biso, BA Sinamar, BA Naras, BA Daras, BA Musuf Joniah, A. Karuman, BA Alahan Panjang, A. Sambuang, BA Musuf Karuah, BA LariangA. Musuf, A. Pagadih, Bt. Ambacang, BA Padang Bubus, B. Kuriman, B. Mudiak Dadok, B. Sinamar, B, Sungai Limau, B. Batuang Laweh, A. Dingin, B. Mahek Kuniang, A. Paraman Cigak, S. Pamulang, B. Marumuk, A. Panamar, B. Nenang Gadang, S. Landai, S. Simpang, A. Pagariang, B. Simpang Batuang, S. Sanguran, A. Simpang Kanan, B. Kapua Ketek, A. Simpang Kiri, B. Kapua, A. Pilubang.

Ekosistem kawasan termasuk tipe ekosistem hutan hujan campuran non dipterocarpaceae, beberapa jenis tumbuhan yang dominan adalah jenis Bayur dan Lasi. Sedangkan jenis fauna dilindungi yang ditemui di kawasan ini antara lain adalah jenis Harimau Sumatera, Kuau, Siamang dan sebagainya Hasil pemasangan kamera perangkap di kawasan Malampah pada bulan November 2009 – Januari 2010 oleh Dr. Wilson Novarino dan Balai KSDA Sumatera Barat menunjukkan kawasan ini masih memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, hal ini diduga karena luasan kawasan yang cukup memadai bagi perkembangan satwa liar serta kondisi kawasan yang relatif masih cukup baik.

10. SM Pulau Pagai

Umum

Fungsi kawasan ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.601/Menlhk/ Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 2.798,99 Ha. Kawasan SM Pulau Pagai secara administratif berada di Kecamatan Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Secara geografis terletak pada posisi 1000 25’ 51,5999” BT – 1000 20’ 49,1999” BT dan 30 10’ 6,1319” LS – 30 18’ 4,284” LS.

Ekosistem dan Biotik

SM Pulau Pagai memiliki tipe hutan Mangrove dan Hutan Dataran Rendah, secara umum kawasan ini didominasi oleh Hutan Dataran Rendah; Pada daerah hutan dataran rendah didominasi oleh pohon Meranti Putih (Shorea spp), Keruing (Dipterocarpus spp), dan pohon berkayu keras lainnya. Sedangkan pada hutan Mangrove didominasi oleh pohon Api – Api ((Avicennia alba) dan pohon Bakau (Rhizophora apiculata). Pada kawasan ini sering dijumpai fauna endemik dan khas kepulauan Mentawai seperti; Elang Laut (Heliates leucogates), Beo (Gracula religiosa), Murai Batu (Copsychus malabaricus), Bilou (Hylobates klosii). Hasil monitoring kawasan konservasi di Kepulauan Mentawai tahun 2011 menunjukkan bahwa pada daerah batas kawasan ditemui adanya kegiatan illegal logging, penyerobotan lahan dan perburuan satwa liar. Pada daerah Km 2 – 7 Logpond Lakkau Desa Bulasat yang berdekatan dengan kawasan KSA/ KPA Pulau Pagai telah diidentifikasi akan dijadikan relokasi korban tsunami tahun 2009.

11. SM Rimbang Baling

Umum

Kawasan ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.593/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 ditetapkan sebagai kawasan SM RImbang Baling dengan luas 6.457,60 Ha menurut keputusan penetapan fungsi sedangkan menurut hasil analisa penunjukkan hutan provinsi memiliki luas 6.055,02 Ha. Dulunya kawasan ini merupakan kawasan KSA/ KPA Air Putih yang dikenal sebagai hutan register 13 Air Putih, kemudian mengingat kondisi, posisi dan nilai strategis kawasan diusulkan sebagai kawasan cadangan perluasan cagar alam oleh Gubernur Sumatera Barat melalui rekomendasi No. 471/VI/Bappeda-1978. Secara administrasi, kawasan ini terletak di Kabupaten Limapuluh Kota dan berbatasan denga Provinsi Riau.

Aksessibilitas

Akses ke kawasan secara umum cukup jauh dari jalan raya, jalan akses kawasan terutama hanya dapat dilakukan vmelalui beberapa jorong yang berada di sebelah barat kawasan. Sulitnya akses untuk melakukan monitoring dan pengamatan pada daerah yang berbatasan dengan Propinsi Riau, menyebabkan besarnya kerusakan kawasan yang terjadi pada daerah perbatasan seringkali tidak terkontrol dan termonitor sepenuhnya.

Eksosistem dan Biotik

Sebagian besar jenis tanah di kawasan diidentifikasikan sebagai podsolik dan andosol sebagai produk batuan beku serta tanah latosol dari alluvial. Tipe hutan di kawasan ini dapat dikategorikan sebagai tipe kawasan hutan dataran rendah campuran (lowland mix-forest), selain itu dalam kawasan ini juga dijumpai tipe hutan kerangas (kerangas forest), tipe hutan ini dinyatakan dengan banyaknya jenis berdaun jarum.

12. SM Tarusan Arau Hilir

Umum

Kawasan ini ditetapkan fungsinya berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.594/ Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 34.567,36 Ha, sedangkan menurut analisa penunjukkan kawasan hutan provinsi, kelompok hutan ini memiliki luas 34.785,96 Ha. Keputusan tersebut sekaligus menggabungkan kawasan KSA/ KPA Air Tarusan dan KSA/ KPA Arau Hilir menjadi kawasan SM Tarusan Arau Hilir.

Kawasan suaka margasatwa ini terletak pada posisi geografis antara 100° 40’ 0.016” BT hingga 100° 26’ 0.017” BT dan 00° 56’ 0.030” LS hingga 01° 12’ 0.058” LS. Kawasan KSA/ KPA Air Tarusan (dulunya) dikenal sebagai kawasan hutan simpanan register 12, sedangkan kelompok hutan Arau Hilir berdasarkan Gouvernement Besluit (GB) Nomor 6 tanggal 1 Juli 1921 dan Nomor 32 tanggal 31 Januari 1921 termasuk hutan register 10.

Penetapan register tersebut, sangat mungkin dilatarbelakangi oleh potensi hidroorologis dan keragaman hayatinya, menurut catatan kawasan ini merupakan habitat puluhan bahkan ratusan jenis flora dan fauna, selain itu di dalam kawasan ini dijumpai sistem sungai dan anakanak sungainya yang mengalir ke wilayah yang berada di bawahnya. Hasil analisa penunjukkan kawasan hutan provinsi menunjukkan bahwa seluas 20.799,92 Ha (59,79%) terletak di Kabupaten Pesisir Selatan, 11.219,43 Ha (32,25%) terletak di Kabupaten Solok sedangkan sisanya seluas 2.766,61 Ha (7,95%) terletak di Kota Padang Menurut wilayah pengelolaan kehutanan, kawasan ini dikelola oleh Seksi Konservasi Wilayah II Tanah Datar bersama dengan Seksi Konservasi Wilayah III Sawahlunto/ Sijunjung.

Kawasan berbatasan fungsi dengan SM Barisan pada arah utara dan TN Kerinci Seblat pada bagian selatan. Kawasan SM Tarusan Arau Hilir bersama dengan SM Barisan telah ditetapkan sebagai wilayah KPHK Arau Hilir sejak tahun 2013 dengan harapan kegiatan pengelolaan kawasan dapat berlangsung dengan baik karena didukung oleh kelembagaan pengelolaan kawasan yang mempuni.

Aksessibilitas

Kawasan ini terletak relatif dekat dari Kota Padang, hanya berjarak + 20 km dari Kota Padang dengan mempergunakan kendaraan transportasi darat (roda empat) atau dapat ditempuh selama setengah jam. Akses untuk sampai ke kawasan beragam, pada wilayah jalan Padang – Solok, kawasan terletak cukup dekat ke jalan raya, sedangkan pada arah barat dari jalan raya Padang – Painan akses mencapai sebagai besar cukup jauh, pada beberapa lokasi diperlukan berjalan kaki hingga 4-6 jam untuk sampai ke kawasan, wilayah kawasan terdekat ke akses transportasi berada wilayah bagian selatan kawasan pada wilayah Nagari Muaro Aie.

Ekosistem

Topografi kawasan terdiri dari punggung-punggung gunung yang sangat terjal, secara garis besar topografi bentangan darat di kawasan ini dapat dibagi menjadi 3: daerah bergunung-gunung dan berbukit-bukit; daerah bergelombang dengan torehan di atas permukaan bumi, dan daerah dataran dan teras sungai. Tinggi kawasan dimulai dari perbukitan dataran rendah (ketinggian mulai 200 m dpl) hingga mencapai 2.000 m dpl. Tanah di kawasan ini dipengaruhi oleh gunung berapi, hingga sebagian besar merupakan lapisan podsolik yang biasanya sangat baik untuk jenis tanaman keras dan tanaman semusim.

Jenis tanah di kawasan ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar: podsolik merah kuning yang memiliki lapisan tanah yang dalam (90 – 180 cm), batas antar horizon yang nyata, berwarna kemerah-merahan hingga kuning atau kekuning-kuningan, teksturnya lempung berliat, dengan konsistensi gembur di bagian atas (top soil) dan tegak di lapisan bawah (sub soil), dan tanah latosol yang memiliki lapisan tanah yang dalam (1,3 – 5 m), batas antar horizon tidak jelas, berwarna tanah latosol merah, coklat hingga kekuning-kuningan, tekstur tanah liat, semakin merah warna tanah, tanah tersebut semakin keras, biasanya terdapat pada ketinggian 10 – 1.000 m di atas permukaan laut dengan bentuk wilayah yang bergelombang, berbukit hingga bergunung. Tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe A, dengan curah hujan rata-rata bulanan 2.500 – 2.700 mm.

Kelembaban udara berkisar antara 53% sampai 89%. Ekosistem kawasan dikategorikan sebagai hutan tropika pegunungan, tipe ekosistem ini biasanya memiliki komposisi jenis yang rendah, namun di kawasan ini memiliki keragaman yang cukup tinggi, hal ini disebabkan karena variasi ketinggi kawasan yang topografinya bergelombang berat dan terjal diduga ikut menambah keragaman jenis yang ada di dalam kawasan. Menurut letaknya, tipe ekosistem ini di SM Tarusan Arau Hilir terbagi menjadi 3; hutan dataran rendah (200 – 700 m dpl), hutan hujan pegunungan (mountaine rain forest) dengan ketinggian 700 m – 1.600 m dpl dan hujan hujan pegunungan tinggi (high mountaine rain forest) dengan ketinggian 1.000 sampai dengan 2000 m dpl. Kawasan Arau Hilir merupakan hulu dari sungai-sungai besar dan kecil yang mengalir ke Kota Padang dan sekitarnya antara lain, Sungai Aluasahan, Sungai Bungus, Air Timbulun Sungai Sambung dan Sungai Bandar Lasung.

Sungai-sungai tersebut termasuk kedalam Sub DAS Lubuk Paraku dan Sub Das Air Tarusan yang tercakup dalam DAS Batang Anai. Dalam kawasan ini tercatat pernah dilaporkan terdapat 24 jenis mamalia yang tergabung dalam 12 famili yang beberapa diantaranya termasuk dalam kategori dilindungi. Beberapa jenis mamalia terutama yang bersifat frugivorous (pemakan buah), seperti Kelelawar, Musang, Siamang dan Ungko memegang peranan penting dalam regenerasi hutan hujan tropis melalui penyebaran benih (seed dispersal). Satwa yagn pernah dilaporkan di kawasan ini antara lain adalah Hylobates agilis (Ungko/Owa), Helarctos malayanus (Beruang madu), Arctictis binturong (Binturung), Prionodon

linsang (Linsang), Felis bengalensis (Kucing hutan), Neofelis nebulosa (Kucing Dahan), Panthera tigris sumatrae (Harimau Sumatera), Tragulus javanicus (Pelanduk, Napu), Cervus unicolor (Rusa), Muntiacus muncak (Kijang), Manis javanica (Trenggiling), Hystrix brachyura (Landak). Jenis burung yang terdokumentasi, sebagian besar dari jenis pemakan serangga dan pemakan buah, biji-bijian, dan nektar yang beberapa diantaranya telah berstatus dilindungi Undang-undang. Selain itu, terdapat 7 jenis dari famili Accipitridae dan 1 jenis dari Falconidae yang dalam rantai makanan dikategorikan sebagai top predator dan 2 jenis burung dari famili Nectaridae yang berfungsi membantu penyerbukan bunga. Potensi jasa lingkungan yang paling diminati di kawasan ini saat ini adalam pemanfaatan potensi jasa lingkungan air, baik bagi kepentingan pemanfaatan energi ataupun air baku untuk minum, pertanian dan industri.

13. TWA Air Putih Kelok 9

Umum

TWA Air Putih Kelok 9 ditetapkan fungsinya berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.592/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 4.085,57.

Kawasan ini dulunya termasuk KSA/ KPA Air Putih (register 13) yang menurut sejarahnya merupakan usulan cadangan perluasan cagar alam melalui rekomendasi Gubernur Sumatera Barat No. 471/VI/Bappeda-1978. Kawasan ini terletak di kiri-kanan jalan nasional Padang – Pekanbaru (Sumatera Barat – Riau), tepatnya pada ruas jalan Kelok 9.

Seiring dengan perkembangan pembangunan kebutuhan transportasi, ruas jalan tersebut kemudian ditingkatkan menjadi jalan layang (fly over) dengan alasan ruas jalan tersebut merupakan salah satu sumbatan kelancaran transportasi kedua provinsi.

Paska pembangunan ruas jalan tersebut, potensi keindahan alam wilayah sekitar Kelok 9 semakin terkuat dan memunculkan kemungkinan agar kawasan ini dimanfaatkan bagi kepentingan wisata alam bagi kepentingan masyarakat kedua provinsi. Kawasan ini terletak di Kecamatan Harau dan Kecamatan Pangkalan Kabupaten Limapuluh Kota, sehari-hari dikelola oleh Resort KSDA Limapuluh Kota yang berkedudukan di Ketinggian, Sarilamak.

Aksessibilitas

Akses ke kawasan telah terbangun sejak lama sehingga kawasan sangat mudah dicapai. Dari kota Payakumbuh kawasan ini berjarak + 22 km (+ 35 menit dengan berkendaraan roda 4), dari Kota Bukittinggi + 55 km (+ 1 jam 30 menit dengan berkendaraan roda 4), dari Kota Padang + 140 km via Bukittinggi (+ 4 jam 15 menit dengan berkendaraan roda 4) dan dari Kota Pekanbaru (Provinsi Riau) berjarak + 165 km (+ 3 jam 45 menit dengan berkendaraan roda 4).

Potensi Wisata Alam

Potensi wisata alam kawasan terutama adalah pemandangan sekitar ruas jalan layang kelok 9 yang menarik banyak pengunjung untuk berhenti dan menikmati keindahan alam sambil menikmati udara segar. Sejak awal pembangunan jalan telah dirancang beberapa titik yang memungkinkan pengunjung untuk berhenti dan menikmati pemandangan alam, konsep pembangunan jalan awalnya digagas dengan konsep ‘Nature in harmony‘ (harmoni dengan alam), titik-titik yang rawan longsor selain diperkuat dengan bubur semen juga ditanami dengan tanaman paku-pakuan untuk memperkuat struktur dan perlindungan terhadap longsor secara alam.

Kegiatan wisata alam lain yang potensial dan menarik untuk dikembangkan di kawasan ini adalah berjalan menjelajahi hutan, khususnya pada wilayah ruas jalan lama yang tidak dimanfaatkan lagi. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjelajahi tipe ekosistem hutan dataran rendah campuran (lowland mixforest), sekaligus menikmati keragaman jenis Nephentes sp (Kantong Semar) yang banyak terdapat di kawasan ini. Interaksi pengunjung dan hutan yang lebih intens dan akrab ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pengunjung terhadap upaya konservasi sumber daya alam dan mendorong kesadaran publik untuk turut melindungi dan mempertahankan hutan konservasi.

14. TWA Batang Pangean I

Umum

Kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan TWA berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.603/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 14.288,36 Ha. Kawasan ini dulunya merupakan KSA/ KPA dengan nama yang sama dan pertama kali ditunjuk sebagai kawasan hutan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No 623/ Kpts/Um/8/82 tanggal 22 Agustus 1982. Secara administratif kawasan TWA Batang Pangean I terletak di Kabupaten Sijunjung Propinsi Sumatera Barat, khususnya di Kecamatan Kamang Baru, Tanjung Gadang dan Sijunjung. Kawasan TWA Batang Pangean I berada pada posisi geografis 101° 21’ 0.038” BT hingga 101° 06’ 0.051” BT dan 00° 41’ 0.012” LS hingga 00° 53’ 0.012” LS.

Kawasan ini termasuk wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah III Sawahlunto/Sijunjung dan sehari-hari dikelola oleh Resort KSDA Sijunjung. Batas kawasan TWA Batang Pangean I adalah sebagai berikut; sebelah Utara berbatasan dengan hutan lindung Sijunjung dan areal penggunaan lain, bagian Timur berbatasan dengan CA Batang Pangean II, areal penggunaan lain dan Kecamatan Tanjung Gadang, sedangkan bagian Selatan berbatasan dengan Hutan Lindung dan desa Kiliran Jao, dan bagian Barat berbatasan dengan areal pemanfaatan lain dan desa Kunangan dan Galogah. Kawasan ini berada di kiri jalan Lintas Sumatera dari arah Solok menuju Kiliran Jao. Berdasarkan perhitungan planimetris, TWA Batang Pangean I ini memiliki batas sepanjang 119,90 km yang belum seluruhnya ditata batas temu gelang.

Ekosistem dan Biotik

Topografi kawasan ini terdiri dari punggung-punggung gunung yang sangat terjal terorientasi di atas batuan granit berbukit, bergelombang dan berbukit-bukit rendah dan terjal. Kemiringan kawasan > 60% dengan aplitudo >300 m. Pada kawasan terdapat 4 (empat) kelompok bentang darat, antara lain; daerah bergunung-gunung dan berbukitbukit, daerah berbukit-bukit kapur, daerah bergelombang dengan torehan di atas permukaan bumi dan daerah dataran dan teras sungai. Berdasarkan sistem Soil Taksonomy (USDA, 1975), Pusat Penelitian Tanah dan FAO/UNESCO (1974), jenis tanah dan klasifikasi kepekaan erosi wilayah ini sebagian besar terdiri dari dystroped, tropodults, tpopertens yang tidak memungkinkan untuk diusahakan sebagai lahan budidaya tanaman semusim melainkan lebih cocok untuk dijadikan perhutanan dengan orientasi konservasi tanah.

Struktur tanah lapisan atas dan bawah agak halus, solum tanah agak dangkal, kesuburan tanah rendah, kejenuhan basa rendah, kapasitas tukar kation rendah, kejenuhan alumunium tinggi dan keasaman tanah tinggi. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson TWA Batang Pangean I termasuk tipe A dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/tahun. Pada tahun 1997 jumlah ratarata bulan kering berkisar 0 bulan dan jumlah rata-rata bulan basah berkisar 10 bulan sedangkan suhu rataratanya berkisar 270 C.

Berdasarkan letak, ketinggian, unsur iklim dan vegetasinya, ekosistem kawasan ini diklasifikasikan ke dalam tipe ekosistem hutan hujan campuran non dipterocarpaceae. Vegetasi kawasan ini, sesuai ketinggian tempatnya terbagi menjadi hutan daratan rendah, hutan sub montana, hutan montane dan hutan sub alpine. Potensi flora yang terdapat pada kawasan Suaka Alam Batang Pangean I sangat beranekaragam dan banyak ditumbuhi oleh jenis yang bernilai ekonomis tinggi, antara lain dari keluarga Dipterocarpaceae. Jenis-jenis flora yang ada pada kawasan ini seperti Meranti Katuba (Hopea dryobalanop), Laban (Vitex pubescens), Bintangur (Callophylum sp), Paning-paning, Kalumpang (Sterculia cordata), Resak (Vatica rasak) dan sebagainya.

Pengamatan mengenai keberadaan fauna yang terdapat pada kawasan Suaka Alam Batang Pangean I tidak dapat dilakukan seperti halnya pengamatan yang dilakukan terhadap flora, tetapi untuk mengetahui keberadaan jenis fauna yang terdapat pada kawasan tersebut lebih kepada pengamatan jejak, suara serta keterangan-keterangan yang diperoleh dari masyarakat sekitar kawasan. Dimana dari keterangan-keterangan tersebut dapat diperoleh informasi bahwa fauna yang terdapat dalam kawasan ini antara lain; Harimau (Panthera tigris sumatrensis), Kambing Hutan (Capricornis sumatrensis), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Siamang (Hylobates sindactylus), Simpai (Presbites melalops), Tapir (Tapirus indicus), Ungko (Hylobates agilis), Kijang (Muntiacus muncak), Kancil (Tragulus javanicus), Kera (Macaca fascicularis), Musang (Paradoxurus hermaproditis), Babi (Sus scrofa). Sedangkan untuk jenis fauna burung antara lain; Kuau (Argusianus argus), Taguak-taguak (Chrysolaptes lucidus), Sawai (Dicrurusaeneus), Murai Batu (Copsychus malabicus), Elang (Accipiter sp), Enggang (Bucerros rhinoceros), Kikiak (Anthrococeros malayunis), Punai (Thereron fulri), Murai Daun (Rhipidulaereola), Baki (Crininger ochraceus).

Daerah Penyangga

TWA Batang Pangean I mencakup 3 wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Sijunjung, Kecamatan Tanjung Gadang dan Kecamatan Kamang Baru. Sedangkan untuk Nagari yang berada disekitar kawasan antara lain; Nagari Solok ambah, Nagari Tanjung Gadang, Nagari Tanjung Lolo, Nagari Sungai lansek, Nagari Siaur, Nagari Muaro Takung, Nagari Kamang baru, Nagari Kunangan, Nagari Aie Amo, Nagari Sungai Betung, Nagari Maloro dan Nagari Paru. Pada umumnya masyarakat Nagari tersebut memiliki mata pencaharian sebagai petani sawah dan perkebunan sehingga tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan sangat tinggi, hal ini dapat menyebabkan keberadaan kawasan ini menjadi rentan terhadap gangguan dan konflik kepentingan dengan masyarakat setempat menjadi sangat besar.

15. TWA Gunung Marapi

Umum

TWA Gunung Marapi telah dikelola sebagai kawasan hutan sejak jaman penjajahan Belanda (Register 1), kemungkinan kawasan ini dikelola sebagai kawasan hutan karena pertimbangan kondisi alam dan kepentingan perlindungan terhadap Gunung Merapi. Penetapan fungsi kawasan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.599/ Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 8.009,74 ha. Sebelumnya kawasan ini berfungsi sebagai KSA/ KPA berdasarkan rekomendasi Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Barat sesuai dengan surat No. 471/VI/ BAPPEDA-78 tanggal 12 Juni 1978 tentang cadangan Cagar Alam yang terdiri dari 10 lokasi.

Ekosistem dan Biotik

TWA Gunung Marapi terdiri dari Gunung Marapi yang masih aktif dengan ketinggian 2.891,3 m dpl. Gunung ini merupakan gunung api tipe A yang teraktif di Pulau Sumatera, termasuk dalam rangkaian pegunungan Bukit Barisan pada jalur Barat Laut – Tenggara.

Pada gunung ini terdapat beberapa kaldera antara lain adalah Kaldera Bancah, Kapundan Tuo, Kabun Bungo, Kapundan Bungsu, Kawan Verbeek atau Kapundang Tanga. Kawsan ini termasuk iklim dengan tipe A dengan rata- rata curah hujan tiap tahun 2.743 mm/tahun.

Seperti laiknya kawasan gunung berapi, topografi daerah ini sebagai didominasi oleh kemiringan curam dan sangat curam. Data yang ada menunjukkan jenis tanah di kawasan ini terdiri dari andosol, podsolik merah kuning, sedangkan dari data kelas tanah, jenis tanah di kawasan ini didominasi oleh jenis andosol yang termasuk peka terhadap erosi.

Ekosistem kawasan ini terdiri formasi hutan dataran rendah, hutan sub montana, hutan montana dan hutan sub alpina. Data dari kegiatan Eksplorasi dan Penelitian Flora Gunung Merapi oleh LIPI pada tahun 2011 menyebutkan jenis tanaman bawah di kawasan ini didominasi oleh jenis Herba. 5 jenis yang memiliki INP tertinggi adalah Ophiorrhiza sp. (INP 18,87), Elatostema sp. (INP 13,13), Syzgium sp. (INP 10,48), Dryopteris sp. (INP 6,56) dan Cyrtandra sp. (INP 6,38).

Sedangkan untuk tegakan jenis pohon yang ditemukan di kawasan didominasi oleh jenis Macropanax sp, Villebrunea sp., Castanopsis javanica, Ficus sp., Syzgiup sp. Selain jenis tanaman yang dominan tersebut di atas, di kawasan KSA/ KPA Merapi ini dapat ditemui jenis tanaman antara lain adalah Binting (Bigchoffia javanica), Medang (Litsea sp), Menambang (Vernonia arborea), Sapek (Macaranga sp), Kemenyan (Styrak sp), Rasamala (Althingia exselsa), Cemara Gunung (Casuarina junghuniana). Jenis fauna yang ada antara lain Siamang (Hylobates syndactylus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Kambing Hutan (Caprinonis sumatrensis), Rusa Sambar (Cervus unicolor), Ayam Hutan (Gallus gallus), Babi Hutan (Sus scrofa), dan lain-lain. Jenis burung yang terdapat didalam kawasan yaitu jenis Burung Punai (Treron sp).

16. TWA Gunung Sago Malintang

Fungsi kawasan ditetapakan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.596/Menlhk/ Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 5.269,01 ha. Kawasan ini dulunya berfungsi KSA/ KPA yang ditunjuk pertama kali melalui Keputusan Menteri Pertanian No.623/ Kpts/Um/8/82 tanggal 22 Agustus 1982 yang didasarkan rekomendasi Gubernur KDH Tk. I Sumatera Barat No.471/ VI/BAPPEDA-78 tanggal 12 Juni 1978. Secara administrasi pemerintahan termasuk dalam Kabupaten Tanah Datar (1.854,38 Ha/ 35,2%) dan Kabupaten Limapuluh Kota (3.414,63 Ha/ 64,8%).

Sedang secara geografis kawasan ini terletak pada posisi 100° 43’ 0.009” BT hingga 100° 37’ 0.057” BT 00° dan 17’ 0.040” LS hingga 00° 22’ 0.012” LS. Menurut wilayah pengelolaan KSDA, kawasan ini dikelola bersama oleh Seksi KSDA Wilayah I Pasaman dan Seksi KSDA Wilayah II Tanah Datar. Mengamati peta situasinya, kawasan ini berbatasan dengan areal penggunaan lain sebagai berikut; sebelah Barat berbatasan dengan Nagari Situjuah Padang Laweh, sebelah Timur berbatasan dengan Nagari Banjar Sari Kecamatan Sago Halaban, sebelah Utara berbatasan dengan nagari Sungai Kamunyang Kabupaten Limapuluh Kota dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Lintau Buo. Aksessibilitas Kawasan ini terletak + 15 km arah selatan Kota Payakumbuh dan + 35 km arah selatan kota Batusangkar.

Aksessibilitas

kawasan cukup baik, untuk mencapai kawasan ini relatif cukup mudah karena sarana jalan yang ada telah cukup baik, bahkan di beberapa daerah terdapat jalan tanah yang dapat dilalui oleh kendaraan roda 4 gardan ganda hingga ke batas kawasan. kawasan cukup baik, untuk mencapai kawasan ini relatif cukup mudah karena sarana jalan yang ada telah cukup baik, bahkan di beberapa daerah terdapat jalan tanah yang dapat dilalui oleh kendaraan roda 4 gardan ganda hingga ke batas kawasan.

Ekosistem dan Biotik

Topografi kawasan terdiri dari punggung-punggung gunung yang sangat terjal dengan ketinggian minimum kawasan dari permukaan laut terukur 800 m dpl dengan ketingginan maksimum mencapai 2.262 m dpl (Gunung Malintang). Jenis tanah di kawasan ini dapat dideskripsikan sebagai jenis tanah yang banyak dipengaruhi oleh gunung berapi, merupakan lapisan pedsolik yang baik untuk jenis tanaman keras dan tanaman semusim, jenis tanah terdiri dari; tanah aluvial di dataran rendah sepanjang sungai dengan ketinggian mencapai 1.000 m dpl, sering juga disebut tanah endapan atau relant deposits yang belum mengalami perkembangan fosil yang baik, berwarna keabu-abuan sampai ke coklat-coklatan, tekstur tanah liat atau liat berpasir.

Tanah pedosolik, memiliki lapisan tanah dangkal (40 – 100 cm), warna coklat kekuning-kuningan, tekstur pasir sedang sampai kasar, tanah cukup peka terhadap erosi karena daya menahan air yang jelek. Komplek podsolik merah kuning, coklat dan latosol, dengan lapisan tanah dalam (90 – 180 cm), batas-batas antara horizon yang nyata, warna kemerah-merahan hingga kuning atau kekuning-kuningan, tekstur lempung berliat, konsistensinya adalah gembur di bagian atas (top soil) dan tegakan di lapisan bawah (sub soil).

Tanah latosol, lapisan tanah yang dalam (1,3 – 5 m) dengan batas antara horizon tidak jelas, warna latosol merah, coklat hingga kekuning-kuningan. Tekstur tanah liat, semakin merah semakin keras. Umumnya terletak di ketinggian sampai 1.000 dpl, dengan bentuk wilayah yang berombak, bergelombang, berbukit hingga bergunung, dan Brown forerst soil, memiliki lapisan yang cukup tebal (100 – 125 cm), tanah berwarna hitam, kelabu hingga coklat tua, tekstur debu lempung, daya menahan air cukup peka dengan permenbilitas tanah cepat.

Bagian kawasan yang berada di kabupaten Tanah Datar formasi geologinya terdiri dari batuan kapur rendzina atau tanah batu kapur abu-abu, pada lereng yang tidak terlalu curam biasanya berwarna kehitaman atau abu-abu gelap sementara pada lereng-lereng yang sangat curam tanah sangat tipis berwarna abu-abu pucat. Sebagian besar tanah pada lereng yang curam struktur tanahnya belum sempurna, hal ini karena terjadinya pencampuran yang terus menerus dari tanah dan hewan tanah yang jumlahnya cukup banyak di daerah ini.

Tipe iklim kawasan menurut pembagian iklim oleh Schimdt dan Ferguson dikategorikan sebagai iklim tipe A dengan curah hujan rata-rata tahunan 1.700 – 2.500 mm, sedang temperatur menurut celsius berkisar antara 200 sampai 270 . Di kawasan ini mengalir beberapa sungai yang menjadi sumber air bagi masyarakat daerah sekitarnya untuk kepentingan, pertanian, perternakan, perikanan, kebutuhan sehari-hari hingga wisata pemandian. Beberapa aktifitas pemanfaatan air yang diketahui antara lain adalah penampungan air milik PT. PDAM Kabupaten Limapuluh Kota.,

Potensi Wisata

Potensi wisata alam kawasan ini antara lain adalah wisata alam pendakian dan berkemah yang pada beberapa daerah telah ada terutama di daerah Kabupaten Limapuluh Kota. Terdapat jalur yang bisa di jadikan tracking untuk sampai ke puncak gunung, track pendakian di kawasan ini relatif lebih mudah dicapai. Beberapa daerah tertentu di kawasan ini memiliki view keindahan alam, pemadangan wisata alam yang ditawarkan adalah pemandangan kota Payakumbuh pada waktu pagi maupun malam hari. Di sekitar kawasan juga terdapat lokasi wisata pemandian, seperti pemandian batang tabik yang cukup populer di tingkat lokal dan adanya event-event wisata juga sering dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi ataupun kabupaten.

17. TWA Lembah Harau

Taman Wisata Lembah Harau ditunjuk sebagai alih fungsi sebagai kawasan CA Lembah Harau melalui Keputusan Menteri Pertanian No.478/kpts/Um/8/1979 tanggal 3 Agustus 1979, dengan luas 27,5 Ha. Perubahan fungsi sebagai kawasan cagar alam tersebut dilatar belakangi oleh adanya potensi wisata yang dapat dimanfaatkan pada kawasan cagar alam yaitu berupa pemandangan yang indah dan wisata pemandian. Batas kawasan sepanjang 12.016 m telah ditata batas temu gelang.

Aksessibilitas

Kawasan TWA Lembah Harau relatif mudah dikunjungi, kawasan ini berdekatan dengan ruas jalan negara Bukittinggi – Pekanbaru, dengan kondisi jalan beraspal. Kawasan ini berjarak + 6 km dari Sarilamak (Ibukota Kecamatan Harau), + 10 km dari Tanjung Pati (Ibukota kabupaten) dan + 134 km dari Kota Padang.

Ekosistem dan Biotik

Kawasan ini merupakan tipe vegetasi primer hutan hujan tropis pegunungan yang memiliki keanekaragaman jenis flora antara lain famili Lauraceae, Myrtaceae, Gurtaceae, Guttiferae dan Dipterocarpaceae, jenis anggrek dan kantong semar. Fauna yang dapat dijumpai antara lain; Kambing hutan, siamang, rusa, tapir dan burung kuau. Karena luasannya yang relatif kecil dan tingginya aktifitas di dalam kawasan, informasi fauna yang ada merupakan catatan dari perjumpaan satwa yang melintas di dalam kawasan.

Potensi Wisata Alam

Dari Rencana Pengembangan Kegiatan Wisata di TWA Lembah Harau (2003), potensi wisata alam yang terdapat di kawasan TWA Lembah Harau antara lain adalah:

1. Tebing-tebing curam yang secara alam menjadi pembatas kawasan merupakan fenomena alam yang menarik baik secara estetika maupun pemanfaatan lain seperti olahraga panjang tebing;

2. Terdapat 7 buah air terjun di kawasan dengan latar belakang tebing-tebing curam, antara lain adalah air terjun Akar Berayun, Serasah Bunta, Serasah Air Luluih;

3. Goa-goa dan celah-celah alami di antara tebing-tebing dan panorama; 4. Monumen peninggalan Pemerintah Hindia Belanda di sekitar lokasi air terjun Serasah Bonta;

5. Tebing echo, terdiri dari 2 tebing yang saling berhadapan dan dapat memantulkan suara dan menimbulkan gaung yang cukup lama; 6. Hutan hujan tropis yang terdapat di dalam kawasan merupakan salah satu objek wisata alam yang sekaligus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian;

7. Keberadaan Taman Margasatwa Lembah Harau yang berdekatan dengan kawasan, taman margasatwa ini memiliki koleksi jenis satwa liar antara lain jenis burung dan Kijang. Mulai tahun 2012, rute Tour de Singkarak (event tahunan pariwisata internasional di Sumatera Barat) mengikutsertakan kawasan ini sebagai salah satu rute lintasan perlombaan, hal ini dinilai mampu menjadi sarana promosi positif untuk peningkatan pengunjung ke kawasan ini.

18. TWA Mega Mendung

Kawasan TWA Mega Mendung merupakan hasil alih fungsi sebagian CA Lembah Anai melalui Keputusan Menteri Pertanian No.174/Kpts/Um/3/1974 tanggal 27 Maret 1974, sebagian areal cagar alam ini yaitu seluas 12,5 ha dijadikan kawasan taman wisata alam. Penetapan kawasan taman wisata alam tersebut, sangat mungkin dilatarbelakangi oleh keanekaragaman flora dan fauna yang sangat tinggi, serta memiliki obyek-obyek wisata yang dapat menarik minat para pengunjung. Panjang batas keliling Taman Wisata Alam Mega Mendung adalah 5,025 km yang merupakan batas fungsi dengan Cagar Alam Lembah Anai dan telah di tata batas temu gelang pada tahun 2000. Berdasarkan koordinat bumi, Taman Wisata Alam Mega Mendung terletak pada koordinat 1000 21’ 3,5999” BT – 1000 20’ 34,8” BT dan 00 28’ 34,968” LS – 00 dt 29’ 3,2856” LS. Menurut administrasi pengelolaan hutan, termasuk dalam wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah II yang berkedudukan di Batusangkar, sedangkan menurut administrasi pemerintahan kawasan ini terletak di wilayah Nagari Singgalang, Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar.

Aksessibilitas

Taman Wisata Mega Mendung mempunyai aksessibilitas yang mudah dicapai. Lokasinya yang terletak di pinggir jalan raya Padang-Bukittinggi dapat dijangkau dengan berbagai jenis alat transportasi darat. Hal ini merupakan potensi kawasan yang mempunyai nilai lebih yang ditawarkan pada pengunjung. Jarak lokasi ini + 64 km dari kota Padang dan dari kota Padang Panjang yang merupakan kota terdekat berjarak +15 km.

Ekosistem dan Biotik

Berdasarkan ketinggian letak dari permukaan laut, Taman Wisata Alam Mega Mendung terletak pada ketinggian ± 450 m dpl. Kondisi geomorfologi secara umum bertopografi agak landai. Daerah ini merupakan bagian dari kesatuan pegunungan vulkanik. Jumlah curah hujan rata-rata 4609,48 mm/tahun atau rata-rata berkisar antara 215,67 – 512,4 mm/bulan dan jumlah hari hujan rata-rata 13,67 – 21,80 hari/bulan. Suhu udara berkisar antara 19,670 C – 25,30 C. Kelembaban udara 94% atau termasuk tipe iklim A sampai B menurut klasifikasi Schmidt – Ferguson atau Af-Am menurut klasifikasi Koppen. TWA ini termasuk DAS Batang Anai.

Pola drainase sungai adalah meander, yakni pola yang terbentuk karena pengaruh relief yang berombak, agak curam dan berbelok-belok. Kondisi ini membuat Sungai Batang Anai memiliki arus sungai yang tergolong deras.Dari hasil observasi kegiatan penyusunan Rencana Pengelolaan TWA Mega Mendung menunjukkan bahwa di dalam kawasan Taman Wisata Alam Mega Mendung kurang lebih 18 famili tumbuhan pohon memiliki nilai penting yang tinggi. Dari 18 famili ini, ada sekitar 7 famili yang memiliki dominasi yang tinggi pada tempat-tempat tertentu dalam kawasan ini. Famili tersebut adalah Urticaceae, Euphorbiaceae, Lauraceae, Rubiaceae, Myrtaceae, Meliaceae dan Moraceae. Selain itu dalam kawasan ini ditemukan juga jenis tumbuhan tingkat tinggi yang unik, langka dan endemik yaitu Raflesia arnoldii. Kawasan Taman Wisata Alam Mega Mendung termasuk biom hutan hujan tropika, sub-bioma hutan tanah kering dengan tipe ekosistem non-dipterocarpaceae. Secara umum fauna di Taman Wisata Alam Mega Mendung beraneka ragam.

Dari hasil observasi dan informasi diperoleh ± 98 jenis, yang terdiri dari ikan (10 jenis), amfibia (11 jenis), reptilia (9 jenis), burung (55 jenis) dan mamalia (13 jenis). Dengan menggunakan metode Mac Kinnon (1991) ditemukan 55 jenis burung di Taman Wisata Alam Mega Mendung (Lampiran 3). Fauna jenis lainnya diduga juga terdapat di kawasan ini, tetapi tidak terdeteksi selama observasi. Fauna lain yang cukup potensial tersebut adalah kupu-kupu (Lepidoptera).

Potensi Wisata Alam

Potensi dan aktifitas wisata utama di TWA Mega Mendung adalah aktifitas menikmat suhu udara yang sejuk dan udaranya. Dengan mengunjungi taman wisata alam ini pengunjung dapat menghirup udara segar dan dengan didukung oleh fasilitas wisata alam lainnya akan memberikan kepuasan tersendiri bagi para pengunjung. Bagi sekelompok masyarakat yang sangat menyukai tinggal di alam bebas, TWA Mega Mendung mempunyai potensi untuk dijadikan areal Kemping. Potensi ini akan lebih menarik bagi pengunjung apabila disediakan fasilitas dan media interpretasi yang mendukung, sehingga aktifitas wisata yang dikembangkan akan memiliki nilai lebih.

Keberadaan Sungai Batang Anai yang melintasi kawasan ini mempunyai potensi untuk dijadikan objek wisata kali renang. Apabila sudah ditata dengan baik dan dilengkapi dengan media interpretasi yang lengkap, sungai ini berpotensi untuk menarik minat pengunjung yang menyukai kegiatan ini. Keberadaan jenis flora endemik jenis Raflesia arnoldii mempunyai potensi wisata pendidikan bagi masyarakat. Potensi ini dapat dimanfaatkan apabila dikelola dengan penuh kehati-hatian. Pihak pengelola harus dapat menjaga agar pemanfaatan sebagai objek wisata tidak mengganggu kelangsungan hidup jenis flora ini.

Taman Wisata Alam Mega Mendung merupakan salah satu objek wisata alam yang menjadi unggulan bagi Kabupaten Tanah Datar disamping objek wisata lainnya yang ada di kabupaten ini. Pada bagian Selatan kawasan dalam radius ± 1 Km terdapat Air Terjun yang mempunyai ketinggian ± 20 m dengan lebar rata-rata 1 m pada saat tidak hujan dan 2-2,5 m jika terjadi banjir/ hujan. Air terjun ini sering juga dijadikan sebagai objek wisata oleh masyarakat. Pada bagian Selatan air terjun ini ±1 km terdapat lokasi wisata Malibou Anai dan Anai Resort yang sudah masuk kawasan Kabupaten Padang Pariaman.

19. TWA Rimbo Panti

Umum

Penunjukkan awal TWA Rimbo Panti dilakukan melalui Keputusan Menteri Pertanian No.284/Kpts/Um/6/1979 tanggal 1 Juni 1979 dengan luas 570 ha, sebagai alih fungsi sebagian kawasan CA Rimbo Panti. Saat ini status kawasan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 101/Menhut-II/2011 tanggal 18 Maret 2011 tentang Penetapan Kawasan Taman Wisata Alam Rimbo Panti yang terletak di Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat seluas 571,10 (lima ratus tujuh puluh satu dan lima puluh perseratur) Hektar. Berdasarkan koordinat bumi, kawasan taman wisata alam ini terletak antara 000 18’ 45’’ LU – 000 22’ 30’’ LU dan 1000 00’ 00’’ BT dan 1000 07’ 30’’ BT. Menurut administrasi pengelolaan hutan, termasuk dalam wilayah kerja Seksi KSDA Wilayah Pasaman dan sekitarnya sedangkan menurut administrasi pemerintahan, kawasan ini terletak di wilayah Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman.

Ekosistem dan Biotik

Taman Wisata Alam Rimbo Panti yang terletak pada ketinggian antara 200 sampai 300 m dpl. terletak pada daerah dengan kelerengan yang bervariasi mulai dari landai sampai kelerengan lebih dari 60º dan konfigurasi lahan berbukit dan berawa-rawa. Sumber air panas dalam kawasan ini mengindikasikan bahwa secara geologis cagar alam ini mempunyai struktur sesar. Batang Air Sulang yang merupakan sungai terbesar di sekitar taman wisata alam dengan debit 6,42 m3 /dt, telah dimanfaatkan untuk mengairi saluran irigasi Panti Rao. Saluran irigasi yang memanfaatkan kawasan Taman Wisata Rimbo Panti ini telah dibangun menjadi saluran Induk Kiri. Taman Wisata Rimbo Panti memiliki keterwakilan tipe ekosistem dataran rendah dan hutan rawa.

Berdasarkan data analisis vegetasi ini diperoleh bahwa di lokasi terestrial dataran rendah mempunyai keanekaragaman jenis yang cukup tinggi yaitu 25 jenis/1000 m2 , sedangkan di lokasi hutan rawa hanya 17 jenis/1000 m2 . (RPCA Rimbo Panti 2000). Jenis-jenis lain yang merupakan jenis-jenis langka dan dilindungi yang ditemukan serta berdasarkan informasi dari petugas dan masyarakat antara lain Amorphophalus titanum (bunga bangkai), Rafflesia arnoldi (bunga raksasa), Morus macroura (Andalas), dan berjenis-jenis Anggrek Secara umum keadaan fauna di kawasan Taman Wisata Alam masih memperlihatkan keanekaragaman jenis cukup tinggi.

Hasil observasi langsung ke lapangan memperlihatkan bahwa masih ditemukan 123 jenis satwa liar, terdiri dari ikan (11 jenis), amfibia (4 jenis), reptilia (8 jenis), burung/ aves (81 jenis), dan mamalia (18 jenis). Habitat dan penyebaran satwa tersebut di atas di daerah Rimbo Panti hampir merata, namun agak kurang pada strata I atau altitud lebih dari 300 m dpl. Hal ini mungkin disebabkan adanya kendala dalam migrasi lokal atau terhalangnya jalur jelajah satwa tersebut. Penghalang utama diduga adalah jalan raya dan saluran irigasi yang membentang pada kawaan ini.

Potensi wisata

Taman Wisata Alam Rimbo Panti memiliki potensi sumber daya alam hayati maupun non hayati yang membentuk suatu obyek yang dapat dikembangkan sebagai komoditas jasa wisata. 1. Posisi kawasan yang terletak di kiri kanan jalan nasional Padang – Medan sehingga sangat strategis sebagai lokasi pemberhentian selama perjalanan dan didukung oleh kondisi lingkungan yang masih asri dan alami; 2. Sumber air panas yang mengalir disekitar kawasan wisata dan tempat pemandian air panas merupakan potensi khas yang dimiliki Taman Wisata Rimbo Panti. Saat ini telah tersedia kolam pemandian air panas dan atraksi merebus telur menggunakan air panas alami oleh masyarakat setempat. 3. Jalur tracking yang melewati hutan hujan tropis dataran rendah, melintasi ekosistem rawa berair panas dan pohon-pohon yang berusia ratusan tahun menjadi pesona di taman wisata ini. 4. Selain potensi wisata diatas juga terdapat beberapa sarana pengunjung antara lain; pusat informasi herbarium, kupel, parkir area, tempat bermain anakanak, MCK, Mushalla dan tempat belanja makanan dan minuman.

20. TWA Saibi Sarabua

Penetapan fungsi kawasan sebagai Taman Wisata Alam berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.602/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 3.220,99 Ha sedangkan berdasarkan analisa keputusan penunjukkan hutan provinsi luas kawasan adalah 3.245,83 Ha. Secara geografis kawasan ini terletak pada posisi 99° 12’ 0.035” BT hingga 99° 08’ 0.011” BT dan 1° 28’ 0.012” LS hingga 01° 34’ 0.021” LS. TWA Saibi Sarabua secara letak administratif termasuk dalam kecamatan Siberut Tengah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Menurut pengelolaannya, kawasan ini terletak dalam pengawasan Seksi Konservasi Wilayah II Tanah Datar yang berkedudukan di Batusangkar dan sehari-hari dibawah pengelolaan Resort KSDA Padang Pariaman yang berkedudukan di Kota Pariaman.

Ekosistem dan Biotik

Kawasan ini memiliki tipe hutan yang sangat unik yaitu hutan mangrove dan hutan dataran rendah. Hutan Mangrove yang berfungsi sebagai benteng dari abrasi pantai karena langsung berbatasan dengan laut. Sedangkan hutan dataran rendah berfungsi sebagai tempat kehidupan beberapa satwa endimik. Daerah daerah mangrove didominasi oleh jenis Api – api (Avicennia alba), Bakau (Rhizophora apiculata) dan Songgon (Baringtonia racemosa). Masyarakat sekitar memanfaatkan hutan mangrove ini untuk tempat mencari ikan. Di kawasan ini dapat ditemukan jenis satwa endemik Mentawai seperti Bilou (Hylobates klosii), Bokkoi (Macaca pagensis), Simakobu (Simias concolor) dan Joja (Presbytis potenziani).

Potensi Wisata

Potensi wisata kawasan ini eksostem mangrove dan pemandangan bawah laut.

21. TWA Singgalang Tandikat

Penetapan fungsi TWA Singgalang Tandikat berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.600/Menlhk/Setjen/PLA.2/8/2016 Tanggal 3 Agustus 2016 dengan luas 9.803,50 Ha. Kawasan hutan ini ditetapkan sebagai kawasan hutan sejak pemerintahan Belanda Gouvernement Besluit No. 35 Tahun 1917 tanggal 31 Januari 1917, yang dikelompokkan dalam kawasan hutan register 2. Posisi geografis kawasan berada pada posisi 100° 22’ 0.025” BT hingga 100° 16’ 0.028” BT dan 0°21’ 0.035” LS hingga 00° 28’ 0.051” LS. Secara administrasi pemerintahan, kawasan ini terletak di Kabupaten Tanah Datar, Agam dan Padang Pariaman.

Aksessibilitas

Kawasan Suaka Alam Singgalang Tandikat memiliki aksesibilitas relatif baik, yang dikelilingi oleh jalan raya beraspal hot mix, untuk mencapai kawasan melalui jalan setapak dengan berjalan kaki dengan jarak bervariasi antara 1 -10 km. Jarak kawasan ke beberapa kota/ daerah penting adalah sebagai berikut; jarak ke Kantor Balai KSDA Sumatera Barat (Kota Padang) + 60 km, jarak ke kantor Seksi Konservasi pengelola (Batusangkar) + 35 km, jarak ke Ibu Kota Kab. Agam (Lubuk Basung) + 50 km, jarak ke kota Pariaman + 30 km.

Ekosistem dan Biotik

Tanah kawasan Suaka Alam Singgalang Tandikat bagian Padang Pariaman terdiri dari tanah latosol, andosol humic dan tanah andosol okrik. Jenis tanah latosol merupakan tanah yang sangat potensial, dengan struktur halus, drainase baik, suhu dalam, kesuburan sedang. Jenis tanah andosol humic dan okrik terbentuk dari bahan baku pada pegunungan vulkanik Singgalang. Yang perlu mendapat perhatian adalah jenis tanah tersebut termasuk jenis yang peka terhadap erosi, hingga pembukaan tutupan hutan akan segera menimbulkan dampak terhadap kesuburan lahan.

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim kawasan ini diklasifikasikan ke dalam Tipe A sampai A2 dengan jumlah bulan basah lebih dari 9 bulan dalam setahun. KSA/ KPA Singgalang Tandikat memiliki satuan fisiografi datar sampai berbukit. Daerah agak landai dan lembah sungai telah lama dimanfaatkan masyarakat sebagai lahan pertanian. Ketinggian kawasan dari permukaan laut tercatat 1.190 – 2.890 m dpl, Gunung Tandikat memiliki ketinggian 2.438 m dpl sedangkan Gunung Singgalang sedikit lebih tinggi, tercatat 2.877 m dpl. Gunung Tandikat merupakan gunung yang masih aktif, sedangkan Gunung Singgalang sudah tidak aktif lagi, di puncak Singgalang terdapat Telaga Dewi yang dahulunya diperkirakan merupakan salah satu kaldera dulunya dengan luas + 2 ha.

Berdasarkan letak, ketinggian, unsur iklim, dan vegetasinya, ekosistem Suaka Alam Singgalang Tandikat diklasifikasikan ke dalam tipe ekosistem hutan hujan pegunungan campuran non-Dipterocarpaceae. Vegetasi hutan ini, sesuai ketinggian tempatnya, terbagi menjadi hutan dataran rendah, hutan sub montana, hutan montana, dan hutan sub-alpina. Hasil eksplorasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada tahun 1996 menunjukan kawasan ini kaya akan jenis tanaman bawah dan anggrek, diantaranya; Jasminum sp (melati), Haberria sp, Eria pilitera, Eria iridifolia, Trichotosia sp, Epigenicum cymbidiodes, Eria panea, Globa sp, Phaius tankervilliae Bl, Bulbophyllum adorata Lindl, Goodyera sp, Malaxis sp, Liparis latifolia, Cryptostylis arachrites Bl, juga ditemukan Napenthes rafflesian Jack Var Ar (kantong semar). Tanaman anggrek yang ditemukan di Singgalang terdiri dari 24 jenis dari 20 suku, dan jenis anggrek di Tandikat lebih banyak lagi yaitu 51 jenis yang termasuk ke dalam 31 suku.

Kawasan Suaka Alam Singgalang Tandikat juga memiliki kekayaan jenis tanaman hias dan tanaman obat yang cukup banyak dan dirasa sangat potensial untuk dikembangkan lebih jauh, dibanding ekstraksi hutan secara langsung melalui komersialisasi potensi jenis-jenis kayu berharga. Fauna yang pernah dilaporakan di kawasan ini antara lain adalah Nycticebus coucang (Kukang), Hylobates agilis (Ungko/Owa), Helarctos malayanus (Beruang madu), Arctictis binturong (Binturung), Felis bengalensis (Kucing hutan), Neofelis nebulosa (Kucing Dahan), Panthera tigris sumatrae (Harimau Sumatera), Tragulus javanicus (Pelanduk), Cervus unicolor (Rusa), Muntiacus muncak (Kijang), Capricornis sumatrensis (Kambing gunung), Manis javanica (Trenggiling), Ratufa bicolor (Kerawak hitam), Hystrix brachyuran (Landak).

Potensi Wisata Alam

1. Pendakian ke puncak Gunung Singgalang melalui rute antara lain dari Limo Badak Siskan, Koto Tuo Kecamatan IV Koto Kab. Agam, Nagari Pakan Sinayan dan Sungai Tanang Kec. Banuhampu Kab. Agam, Nagari Pagu-pagu dan Koto Laweh Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar.

2. Pemandangan puncak Gunung Singgalang dan Tandikat menawarkan pemandangan sekitar Sumatera Barat bagian tengah, telaga dewi, dan hutan lumut yang menarik untuk dilihat.